Senin, 25 Mei 2009

Guru Bantu Siswa Maksimalkan Kinerja Otak

Senin, 20 April 2009 | 03:41 WIB

Jakarta, Kompas - Pendidikan di sekolah harus mampu mendorong anak-anak bisa menggunakan potensi otak mereka yang luar biasa secara maksimal. Pengembangan potensi otak anak ini harus serentak antara otak kanan dan otak kiri untuk mengembangkan berbagai kemampuan intelegensia atau multiple intelligence yang dibutuhkan di masa depan.

”Anak-anak harus didorong untuk menggunakan otaknya. Sebab, dari hasil penelitian ternyata penggunaan otak manusia untuk mengingat, belajar, dan kreatif kurang dari satu persen. Guru harus mengupayakan agar bisa memunculkan 99 persen potensi otak anak itu,” kata Tony Buzan, pencipta Mind Map? yang hadir dalam acara Educator Sharing Network tentang ”Teaching and Learning in a Brain New World” yang diadakan Sampoerna Foundation Teacher Institute, PT Planet Edupro Indonesia, dan SIM Professional Development, di Jakarta, Sabtu (18/4).

kompas.com

kompas.com

Menurut Buzan, guru punya peran penting bagi masa depan peradaban dunia dengan menyiapkan anak-anak didik yang mampu menggunakan kedua belah otaknya untuk bisa mengembangkan pengetahuan.

Buzan, penemu teknik Mind Map? pada awal 1970-an, menjelaskan bahwa pemetaan pikiran bisa membantu membuka seluruh potensi dan kapasitas otak yang tersembunyi. Teknik ini melibatkan kedua sisi otak secara bersamaan, yaitu otak kanan (gambar, warna, ritme, imajinasi) dan otak kiri (kata, angka, logika).

8 kemampuan intelektual

Pendidikan dewasa ini perlu membekali siswa dengan delapan kemampuan intelektual, yakni kepintaran verbal, angka-angka, kreatif, sosial, personal, sensori, fisik, dan etika spiritual.

Saat ini lebih dari 500 juta orang di dunia menggunakan teknik pemetaan pikiran untuk pembelajaran maupun bisnis. Pemetaan pikiran ini, kata Buzan, bermanfaat untuk pembelajaran, kecepatan, kemampuan berpikir yang lebih terstruktur. Juga akan mendorong terciptanya kreativitas, ide-ide cemerlang, solusi inspiratif penyelesaian masalah, bahkan cara baru memotivasi diri dan orang lain.

”Indonesia punya potensi luar biasa untuk meningkatkan kualitas manusianya lewat pendidikan mengoptimalkan kedua belahan otaknya,” kata Buzan yang akan ke Jakarta bulan Agustus memberi workshop Mind Map.

Nouval, siswa SMP, mengatakan dengan teknik pemetaan pikiran dia bisa menikmati belajar. ”Saya tadinya hampir putus asa setiap belajar karena nilai-nilai saya jelek. Namun sekarang ketika saya sudah dibantu bisa mengubah cara belajar, saya bisa meningkatkan nilai. Yang tadinya empat bisa mencapai angka sembilan,” katanya. (ELN)

UU BHP Dapat Pacu Profesionalisme Guru

Senin, 26 Januari 2009 | 18:13 WIB



BANDUNG, SENIN - Undang-undang Badan Hukum Pendidikan dapat memacu kinerja dan profesionalisme guru, khususnya pegawai negeri sipil. Kewajiban tiap BHP membuat perjanjian kerja baru dengan guru mendorong guru bekerja lebih profesional untuk tetap bisa dipekerjakan.

Ketentuan ini sekaligus menjadi sistem kontrol, alat evaluasi untuk mendorong guru lebih bermutu. "Kalau mereka tidak mau terancam (tidak dipekerjakan), ya harus bisa bekerja lebih baik," ujar A. Alamsyah Saragih, pengamat pendidikan dari Bank Dunia, di dalam Seminar Nasional Peran Guru dalam Badan Hukum Pendidikan di Masjid Salman Institut Teknologi Bandung, Senin (26/1).

Ketentuan yang mewajibkan tiap BHP melakukan perjanjian kerja dengan guru ini diatur di dalam Pasal 55 UU BHP. Ketentuan ini juga berlaku bagi guru-guru PNS. Sehingga, status guru PNS itu adalah dipekerjakan di BHP. Menurut Alamsyah yang juga Direktur Eksekutif Sanggar ini, ketentuan ini sebetulnya dapat meningkatkan posisi guru-guru PNS.

Kalau dulu, hubungan antara pihak dinas dan guru (PNS) itu kan lebih seperti pimpinan dan staf. "Dengan ketentuan perjanjian kerja ini, posisi guru dan yang memberi kerja kan jadi tawar-menawar," ujarnya. Ia berpandangan, aturan kontrak kerja guru ini hendaknya tidak membatasi proses redistribusi penyebaran guru. Daerah pinggiran yang kekurangan guru harus mendapat perhatian. Solusinya lewat insentif.

Arnie Fajar, salah seorang guru PNS di Kota Bandung, berpendapat senada, UU BHP diyakini mendorong profesionalitas guru. Soalnya ini terkait dengan persaingan agar seorang guru bisa dipekerjakan kembali di dalam pembaharuan kontrak kerja dengan BHP. Untuk bisa dipakai lagi di suatu BHP, ukuran yang dilihat tentunya adalah kinerja. Kalau terkait ini, tentu saja ini hal yang bagus dari UU BHP, ucapnya.

Tenaga kerja

Ketua Dewan Pimpinan Cabang Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Kota Bandung Asep Tapip Yani mempersoalkan kejelasan status dan posisi guru saat ini. Ia melihat, munculnya UU BHP justru makin membingungkan. Ke depan, yang berlaku itu UU Kepegawaian atau UU Ketenagakerjaan? Lantas, bagaimana jika lembaga pendidikan itu dinyatakan pailit. Ini kan bisa berdampak ke guru, ujarnya.

Implementasi UU BHP juga akan menambah jalur birokrasi proses pengangkatan dan pemberhentian guru yang sebelumnya te lah rinci diatur di dalam Pasal 25 UU Guru. Dengan demikian, saat ini setidaknya berlaku enam buah sekaligus UU yang juga sama-sama mengatur soal profesi guru. Ada UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Guru dan Dosen, UU BHP, UU Kepegawaian (PNS), UU Ketenaga kerjaan dan UU Serikat Pekerja untuk guru non-PNS.

Mestinya, ada sinkronisasi aturan satu UU dengan lainnya itu, ucapnya. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat FGII Suparman berpandangan, ketentuan Pasal 55 BHP dapat diartikan guru-guru (non-PNS) tunduk kepada ketentuan UU Ketenagakerjaan. Sehingga, semestinya ada perjanjian kontrak bersama dan ketentuan upah minimum daerah.


kompas.com

Januari 2009 Gaji Guru Bersertifikat Naik

Senin, 24 November 2008 | 12:35 WIB

MAKASSAR, SENIN- Para guru dan dosen yang telah bersertifikasi, termasuk mereka yang mengabdi di daerah terpencil, akan menikmati kenaikan gaji mulai Januari 2009.

"Guru yang telah mengantongi sertifikasi akan menerima kenaikan gaji satu kali gaji pokok sedangkan dosen menerima dua kali dari besaran gaji pokok," kata Sesmen Menko Kesra Indroyono Susilo, usai bersama Gubernur Sulsel H Syahrul Yasin Limpo membuka seminar reformasi birokrasi di Hotel Sahid Makassar, Senin (24/11).

Indriyono mengatakan, gaji pokok guru saat ini rata-rata Rp2 juta. Maka setelah mereka memiliki sertifikasi akan menerima tambahan penghasilan satu kali gaji pokok menjadi Rp4 juta setiap bulan.Sedangkan, bagi dosen yang telah mengantongi sertifikasi akan menerima tambahan penghasilan dua kali lipat dari yang mereka terima sekarang.

Meski tidak menyebut jumlah guru dan dosen yang telah mengantongi sertifikasi, namun Indriyono menyatakan bahwa langkah yang ditempuh pemerintah ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen agar lebih berkulitas.

"Untuk melahirkan anak didik sebagai generasi pelanjut yang handal di masa datang, maka dibutuhkan tenaga pengajar semua jenjang pendidikan yang memiliki kualifikasi terbaik dengan mengantongi sertifikasi," tambah Indriyono.

Sementara itu, Gubernur Sulsel H Syahrul Yasin Limpo mengatakan, peningkatan mutu dan kesejahteraan guru menjadi program prioritas pemerintah Provinsi Sulsel di samping program kesehatan.

Sektor pendidikan telah menjadi prioritas pemerintah daerah bersama bidang kesehatan dengan program pendidikan dan kesehatan gratis. Untuk kesehatan berlaku di semua tempat pelayanan kesehatan dan jenjang pendidikan berlaku dari tingkat dasar hingga pendidikan menengah.
C12-08
Sumber : Ant

Kuliah Lagi, Tak Melulu Demi Sertifikasi

Senin, 4 Mei 2009 | 08:39 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Raut wajah puluhan perempuan dan lelaki berusia 40 hingga 50-an tahun, yang duduk di bangku kayu berukuran dua orang, tampak serius mendengarkan paparan soal hukum pewarisan Mendel. Suasana hening sesekali pecah saat pengajar memancing peserta dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkait materi yang baru dipaparkan.

Meskipun usia tak terbilang muda lagi, puluhan guru yang kuliah atas inisiatif sendiri atau dikuliahkan pemerintah di Kabupaten Biak Nomfur, Papua, itu tetap bersemangat meraih gelar sarjana pendidikan. Selama empat semester atau dua tahun, guru-guru SD yang sudah kenyang dengan asam-manis jadi pendidik di Tanah Papua itu melakoni belajar secara mandiri, lalu beberapa kali tutorial atau kuliah tatap muka di Universitas Terbuka (UT) yang dipusatkan di SDN 1 Biak.

Keterbatasan sarana belajar karena umumnya hanya mengandalkan modul, tidak menghalangi mereka untuk terus belajar. Para tutor yang guru SMA bergelar sarjana pendidikan tetap bisa diandalkan untuk membantu proses itu.

Laban Rumbrapuh (52), Kepala SD YPK Bosnabraidi di Distrik Yawosi, setidaknya tiga kali seminggu menempuh jarak sekitar 60 kilometer untuk menghadiri kelas tutorial atau ujian. Perjalanan dua jam atau lebih itu tidak mudah karena taksi (angkutan umum) tidak selalu tersedia.

Namun, Laban, yang 27 tahun jadi guru, berusaha tidak absen dari jadwal bertatap muka dengan tutor (istilah dosen di UT). ”Pertemuan dengan tutor kan cuma 12 kali per semester. Selebihnya, belajar sendiri dari buku atau kaset atau VCD. Kadang-kadang materi yang sedang dipelajari semakin jelas jika dibahas secara langsung dengan tutor,” ujar Laban yang kuliah dengan beasiswa dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Biak.

Menurut Laban, mengingat usianya yang tak lagi muda, cukup sulit untuk bisa kembali ke bangku kuliah. Namun, kesempatan untuk kuliah lagi membuatnya bergairah untuk bisa belajar. ”Katanya untuk bisa ikut sertifikasi. Tetapi, buat saya ini kesempatan untuk meningkatkan diri,” kata Laban.

Elieser Wabiser (45), guru SD YPK Dwar, di Distrik Warsa, mengatakan, keinginan guru di daerah untuk pengembangan diri sangat kuat. Namun, tanpa difasilitasi pemerintah daerah, guru kesulitan untuk bisa terus mengembangkan diri.

”Untuk bisa sekolah S-1 lagi, misalnya, tidak mudah. Selain keuangan yang berat jika membiayai sendiri, di daerah terpencil tidak ada perguruan tinggi kependidikan. Kalau tidak dibukakan jalan oleh pemerintah, ya guru kesulitan. Untuk pelatihan lainnya juga biasanya kalau ada program dari pusat saja. Seringnya guru di kota yang dipilih,” kata Elieser.

Untuk bisa menjalani kuliah di UT yang fleksibel, tetapi guru tidak boleh sampai mengabaikan tugasnya, bukan hal mudah. Elieser terpaksa tidak penuh mengajar demi bisa mendapatkan taksi yang membawanya ke ibu kota. ”Pukul 11 saya sudah selesaikan mengajar supaya bisa ikut tutorial jam dua siang. Nanti, jam mengajar yang kurang diganti hari lain. Siswa belajar sampai sore,” kata Elieser yang 8 tahun jadi guru PNS.

Ada juga guru-guru yang mesti menyeberangi pulau, seperti di Padaido dan Numfor, agar bisa kuliah ke kota. Mereka kadang terhadang cuaca buruk.

”Guru-guru pasti ingin bisa meningkatkan kualitas dirinya supaya bisa menghasilkan anak-anak didik yang lebih baik. Tetapi, kesempatan mendapat pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan guru terbatas. Apalagi, di daerah yang jauh dari kota tidak mendapat banyak kesempatan,” kata Aqwila Musen, guru SD YPK Samber, Distrik Yendidori.

Elieser yang membiayai sendiri kuliahnya itu mempertanyakan, ”Setelah guru ramai-ramai dikuliahkan S-1, terus apa? Yang penting itu kan guru terus dibina secara berkelanjutan agar pengetahuannya tidak ketinggalan, terutama guru di daerah pedalaman atau terpencil.”

Tantangan Berat

Yusuf Slamet, Kepala Seksi Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Biak Nomfur, mengatakan tantangan meningkatkan kualifikasi akademik guru di daerah ini cukup berat. Baru sekitar 50 guru dari 3.000 guru SD bergelar sarjana pendidikan. ”Perkuliahan di UT cukup membantu karena penyelenggaraannya bisa disesuaikan keadaan di sini. Kami minta tutorial 12 kali dari pengajuan UT yang cuma delapan kali,” kata Yusuf.

Kondisi guru-guru di daerah yang minim dalam pengembangan diri tersebut sejalan dengan temuan Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) Independen 2008 yang dibentuk Konsorsium Sertifikasi Guru.

”Guru tidak bisa lagi diabaikan. Berbicara sol guru, tidak semata-mata soal peningkatan kesejahteraan. Peningkatan mutu mereka dalam pembelajaran juga sama pentingnya. Kondisi itu bisa dicapai dengan pelatihan yang berkesinambungan dan tanpa henti untuk semua guru, jadi jangan hanya untuk kepentingan sertifikasi. Para guru itu sebenarnya haus menimba ilmu yang terus berkembang,” kata Unifah Rosyidi, Ketua Tim Monev Independen 2008, sekaligus Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia.

Belajar Mandiri

Di tengah gencarnya pemerintah mewujudkan guru TK - SMA sederajat yang minimal berkualifikasi akademik D-IV/S-1, peran UT yang sejak 1984 bersifat terbuka dan jarak jauh menjadi cukup penting. Perguruan tinggi ini memiliki unit program belajar jarak jauh (UPBJJ) di tiap provinsi dan menyelenggarakan perkuliahan hingga ke kecamatan.

Jumlah mahasiswa aktif di UT per Agustus 2008, 522.960 orang, --sekitar 12 persen jumlah mahasiswa seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Sebanyak 90 persen mahasiswa UT adalah guru, terutama guru SD.

M Atwi Suparman, Rektor Universitas Terbuka, mengatakan, belajar di UT harus siap belajar mandiri. Mereka dibekali bahan ajar seperti modul, audio visual, dan VCD yang didesain untuk bisa dipelajari sendiri, tidak bergantung kepada dosen atau tutor.

”Penggunaan internet untuk pembelajaran, registrasi, dan tutorial online sudah bisa diakses. Kendalanya, tidak semua daerah terjangkau internet dan tidak semua mahasiswa mampu menggunakan komputer,” katanya.

Tian Belawati, Pembantu Rektor I Bidang Akademik UT, menjelaskan, pemanfaatan internet sebagai sumber belajar masih rendah, terutama di kalangan mahasiswa yang bekerja sebagai guru. Baru sekitar 6.000 mahasiswa UT memanfaatkan tutorial online.

Sertifikasi Guru Perlu Dibenahi

Jumat, 9 Januari 2009 | 19:59 WIB

JAKARTA, JUMAT — Pelaksanaan uji sertifikasi bagi guru dalam jabatan perlu segera dibenahi supaya tidak merugikan hak-hak para pendidik. Karena itu, pemerintah perlu memperbaiki kinerja penyelenggaraan uji sertifikasi guru secara efektif dan efisien sehingga sekitar 2,7 juta guru di seluruh Indonesia bisa menjadi guru profesional pada 2015.

Pembenahan untuk uji sertifikasi guru ini perlu dilakukan mulai dari pemerintah hingga lembaga pendidik dan tenaga kependidikan atau LPTK yang menilai portofolio guru. "Jangan sampai karena kinerja yang lambat, justru guru yang dirugikan. Banyak para guru yang akhirnya tidak mendapat tunjangan sertifikasi satu kali gaji per bulan yang tidak utuh," kata Sulistiyo, Ketua Umum Asosiasi Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) Swasta Se-Indonesia yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (9/1).

Menurut Sulistiyo yang juga Rektor IKIP PGRI Semarang, pemerintah harus bisa menyelesaikan uji sertifikasi untuk guru sebelum akhir tahun supaya pada awal tahun berikutnya guru sudah bisa mendapatkan tunjangan profesi karena telah memiliki sertifikat guru profesional seperti yang disyaratkan Undang-undang Guru dan Dosen. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan uji sertifikasi, mulai dari penyerahan portofolio, penilaian, pengumuman, hingga penyerahan sertifikat pendidik sering terlambat dari target waktu yang ditetapkan.

"Perlu juga ditambah lagi LPTK penyelenggara sertifikasi supaya pelaksanaannya berkualitas dan sesuai jadwal. Pemilihan LPTK ini harus yang memenuhi kualifikasi supaya guru profesional yang dihasilkan memang sesuai yang dibutuhkan untuk perbaikan mutu pendidikan saat ini," kata Sulistiyo.

Adapun untuk pendidikan profesi guru yang akan dimulai tahun ini, kata Sulistiyo, pesertanya harus diutamakan dari lulusan LPTK. Hanya untuk guru bidang studi yang memang sulit ditemukan di LPTK saja yang seharusnya dibuka untuk lulusan perguruan tinggi umum. "Ini supaya tidak jadi preseden jika profesi guru hanya untuk mereka yang sulit mencari pekerjaan lain. Profesi guru harus lahir dari orang-orang yang siap menjadi guru berkualitas," jelas Sulistiyo.

Achmad Dasuki, Direktur Profesi Pendidik Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas, mengatakan, pembenahan untuk uji sertifikasi guru terus dilakukan. Supaya tidak lagi tersentral di Depdiknas, pelaksanaan sertifikasi diserahkan kepada pemerintah provinsi.



Ester Lince Napitupulu

Guru Belajar untuk Kreatif Ajarkan Ilmu Sosial

Sabtu, 17 Mei 2008 | 09:22 WIB

JAKARTA, SABTU - Untuk meningkatkan kreativitas para guru-guru dalam mengajarkan mata pelajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah, Universitas Negeri Jakarta menyelenggarakan Workshop Nasional 'Penerapan Model Pembelajaran Inovatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial Di Sekolah' di Jakarta, Sabtu (17/5).

Menurut Ketua Panitia Workshop, Djafar, workshop sehari ini diikuti oleh para guru ilmu sosial dari SD, SMP hingga SMA dari seluruh nusantara. "Di tengah maraknya sertifikasi guru, kami harap guru-guru yang ikut dapat meluruskan niat, dengan antusiasme yang besar, untuk mengembangkan diri dan bukan hanya menanti-nanti sertifikat," ujar Djafar.

Workshop ini akan membahas dua topik besar dalam pembelajaran ilmu sosial, seperti transdisiplinaritas ilmu-ilmu sosial dalam pendidikan di sekolah serta model-model pembelajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah dengan menghadirkan dua pakar pendidikan, yaitu Conny R. Semiawan dan Diana Nomida Musnir.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UNJ Ahmad Hussein mengatakan bahwa workshop ini juga diadakan sebagai bagian dalam rangkaian acara Pekan Ilmu Sosial FIS UNJ. "Guru yang baik adalah guru yang mau terus belajar. Daripada mikirin sertifikat, lebih baik berfokus bagaimanakah mendidik generasi muda sehingga masa Indonesia emas 2050 realistis untuk kita canangkan," tukas Ahmad.

Banyak Guru Belum Paham Paradigma Pembelajaran

Sabtu, 17 Mei 2008 | 11:43 WIB

JAKARTA,SABTU - Pergeseran paradigma proses pendidikan, menurut pakar pendidikan Diana Nomida Musnir, agaknya belum dipahami sepenuhnya oleh para pendidik di Indonesia. Perubahan paradigma dari 'pengajaran' ke 'pembelajaran' merupakan perpindahan pusat proses pendidikan dari guru ke murid, dari transfer pengetahuan ke transformasi pengetahuan. Pasalnya, guru sendiri belum siap dengan kondisi ini.

"Misalnya, akhir-akhir ini karena ramai isu kenaikan BBM, kita sering dengar istilah 'barrel' tapi nggak paham tentang istilah itu," ujar Diana dalam Workshop Nasional Penerapan Model Pembelajaran Inovatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial Di Sekolah di Jakarta, Sabtu (17/5). Diana sempat menanyakan makna 'barrel' ke para peserta workshop namun ternyata banyak yang tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, menurut Diana, perubahan paradigma tersebut meminta para guru untuk memperkaya diri terlebih dahulu sehingga anak didik memperoleh wawasan yang kaya pula.

"Bagaimana kita mengharapkan anak didik kita utuh kalau kita sendiri tidak utuh dan tidak belar untuk utuh? Ini bisa dapat dicapai bukan dengan pembelajaran monodisiplin, multi maupun inter, tapi transdisiplin," ujar Diana. Selain itu, pada faktanya kebutuhan murid belum dijadikan sentral oleh para guru supaya potensi murid dapat digali secara optimal. "Kita ini adalah pelayan anak. tapi sampai sekarang ini, kita banyakan menuntun anak atau malah menuntut," tandas Diana.

Proses pembelajaran harus dikembangkan menggunakan prinsip pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan, atau yang biasa disebut PAKEM. Secara aktif, guru harus belajar memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang atau mempertanyakan siswa. Secara kreatif, guru harus mampu mengembangkan kegiatan yang beragam dengan alat bantu yang sederhana.

"Tantangan biasanya adalah alat bantu yang mahallah atau apa, tapi sebenarnya guru bisa mulai dengan sederhana, memanfaatkan apa yang ada di sekitar kita untuk menantang murid kreatif. Murid yang kreatif itu yang bisa merancang membuat sesuatu, menulis dan mengarang," tukas Diana.

Sedangkan untuk membuat sesuatu yang menyenangkan, guru harus belajar untuk tidak membuat anak takut ketika salah atau tidak menganggapnya remeh. Caranya yang sederhana, menurut Diana, melalui raut muka yang tidak segera berubah ketika anak salah menjawab sehingga anak tersebut tidak takut lagi mengeluarkan pendapatnya dalam kesempatan lain.

LIN