Rabu, 22 April 2009

UN antara keberhasilan & mutu

Published on April 22, 2009 by viktus
IBNU HAJAR DAMANIK
Penulis adalah adalah Guru Besar & PD I FIP Unimed dan Dosen Pascasarjana Unimed.
Meski telah berjalan beberapa tahun, namun tetap saja pelaksanaan UN menjadi kontroversi bahkan polemik yang seakan tak berkesudahan. Prokontra pelaksanaan UN di tengah masyarakat dengan argumen dan pendapat yang sangat bervariasi menimbulkan kesan betapa carut-marut dunia pendidikan kita tidak hanya dipersoalkan sejak dari hulu tapi juga sampai ke hilir, mulai dari perencanaan orientasi dan arah pendidikan, proses penyelenggaraan pendidikan, dan akhirnya evaluasi yang sebetulnya dapat digunakan untuk perbaikan (feed back dan follow up) pun tetap dipersoalkan.
Hal itu tentu baik jika niatnya untuk mendorong perubahan dunia pendidikan ke arah yang lebih baik, lebih berkualitas guna mengangkat martabat bangsa lebih tinggi di kancah regional bahkan internasional. Namun kondisi prokontra seperti itu sangat-sangat memprihatinkan karena kita telah menghabiskan banyak energi namun hanya berkutat di seputaran persoalan yang sebenarnya tak perlu dipersoalkan. Mengapa dikatakan demikian? Oleh karena masih banyak hal penting di bidang pendidikan yang memerlukan pemikiran banyak pihak dalam menentukan arah dan warna pendidikan dikaitkan dengan tuntutan menghasilkan lulusan yang mampu berperan dalam perkembangan lokal, nasional, regional, dan bahkan internasional.
Silang pendapat tentang UN yang sudah berlangsung beberapa tahun mencapai titik nadir ketika 58 anggota masyarakat yang mewakili murid, orang tua murid, guru, dan para pemerhati pendidikan mengajukan gugatan dan sebagian besar dikabulkan majelis hakim. Dalam amar putusannya majelis hakim menyatakan bahwa para tergugat yang dalam hal ini pemerintah (Presiden, Wapres, Mendiknas, Ketua BSNP) telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warganya yang menjadi korban UN, khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak anak (Education Forum, 2007).
Menurut hemat penulis, dari kasus di atas sesungguhnya terdapat perbedaan cara pandang mengenai hak atas pendidikan, hak anak, dan pelaksanaan UN. Bukankah berbagai kebijakan pemerintah tentang penyelenggaraan pendidikan meski terkesan agak lamban sesungguhnya menunjukkan tanggungjawab pemerintah akan pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara? Bukankah pemerintah berkepentingan bahkan wajib mengetahui arah pencapaian program pendidikan bagi warganya dilihat dari sisi kualitas layanan dan kualitas lulusan? Lalu apa yang mesti dipersoalkan dengan UN yang merupakan bagian dari pelaksanaan UU Nomor 20 tahun 2003 pasal 57 ayat 1 yang menyatakan ‘Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan’. Jika dianggap ada yang menjadi ‘korban’ dari pelaksanaan UN, bukankah itu merupakan proses alamiah dari yang namanya proses evaluasi, harus ada yang kalah dan menang? Lalu apa makna pelaksanaan evaluasi jika tidak mampu menentukan ada peserta yang menang dan yang kalah?
Atas dasar pandangan di atas, dapat dinyatakan bahwa persoalan sesungguhnya bukanlah pada baik-buruk, benar-salah dari pelaksanaan UN, namun sejauhmana kesiapan sekolah untuk mengikuti program UN yang sesungguhnya merupakan bagian dari rutinitas tugas dan tanggungjawabnya sebagai institusi penyelenggara pendidikan formal bagi anak-anak.
Pernak-pernik pelaksanaan UN
Sepanjang yang penulis ketahui, sejak Ujian Nasional diberlakukan, secara bertubi-tubi kritikan terus-menerus melayang ke pemerintah. Ragam kritik itu mulai dari menyatakan pemerintah ‘tidak sensitif terhadap permasalahan’, sampai ke ‘pemerintah melanggar HAM’ bahkan sampai ada yang menggugat ke pengadilan seperti telah disinggung sebelumnya. Beragam kritikan yang nadanya kurang konstruktif itu, misalnya pernah diulas Hermansaksono (2006) bahwa ada siswa yang memprotes kenapa belajar 3 tahun ditentukan 3 jam?. Ada juga yang protes kenapa kelulusan ditentukan hanya dengan 3 mata pelajaran. Mestinya kritikan-kritkan yang demikian itu menjadi bahan renungan bersama, kalau ujian 3 mata pelajaran saja tidak lulus, kalau ditambah lagi jumlah mata pelajarannya jangan-jangan semakin banyak yang tidak lulus.
Penyelenggaraan UN kerap menampilkan sejumlah kekhawatiran serta ekses yang beraneka ragam. Peristiwa gantung diri siswa SMKN 3 Padangsidimpuan tahun lalu Polita boru Sihite (19 tahun) ada yang mengaitkannya dengan dan merupakan ekses UN. Namun menurut Ketua Dewan Pendidikan Sumut Prof. Manullang (dalam Seputar Indonesia, 14 Mei 2008) bahwa hal itu hanya kasus dan bukan ekses dari UN oleh karena jika hal itu merupakan ekses UN maka akan banyak siswa yang gantung diri.
Lain lagi pengalaman tragis yang dialami oleh siswi SMA di Klaten. Gara-gara takut tak lulus UN, siswi SMA di Klaten ini termakan bujuk rayu seorang dukun. Bukan kemudahan ujian yang didapat, melainkan ia harus kehilangan kehormatannya, airmata yang diteteskan gadis manis ini bukan cuma perkara tak bisa mengerjakan soal UN dan ketakutan tak bakal lulus UN, tapi ternyata tertipu daya telah terenggut mahkotanya hanya karena ingin mendapat ‘resep jitu’ lulus UN dari sang dukun (Wasono M., 2008).
Carut-marut pelaksanaan UN sungguh membuat miris. Mulai dari kekhawatiran para siswa yang berlebihan, praktek penipuan, jual beli soal ujian, hingga teror lewat SMS. Tak sedikit orangtua murid yang terkecoh iming-iming bocoran soal dan jawaban UN harus rela kehilangan uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Bahkan pengalaman pahit peristiwa Lubuk Pakam, Deli Serdang sebanyak 16 guru SMAN melakonkan perilaku menyimpang secara berjamaah atau kolektif berujung pada menjadi tersangka pelaku kecurangan UN. Dengan dalih khawatir anak didiknya tak lulus UN, mereka membetulkan jawaban soal ujian para siswa tersebut. Mereka dan kepala sekolah harus menjalani pemeriksaan polisi dan berstatus tersangka telah melanggar Pasal 263 KUHP (perihal pemalsuan surat) dengan ancaman hukuman paling lama 6 tahun penjara.
Akan tetapi sepertinya bukan rahasia umum, praktik kecurangan UN di Sumut tak cuma terjadi di SMAN 2 Lubuk Pakam. Kecurangan juga terjadi di enam daerah lain di 24 SMA sederajat, yaitu di Medan, Humbang Hasundutan, Pematang Siantar, Simalungun, Toba Samosir, dan Binjai. Kecurangan di enam daerah itu menurut versi laporan Komunitas Air Mata Guru (KAMG), bahwa praktik kecurangan terbukti direncanakan demi nama baik sekolah dan daerah. Yang mengherankan, proses hukum bagi para pelaku kecurangan UN terkesan tak benar-benar ditegakkan sehingga kasus yang serupa sering terulang.
Dalam upaya menjadikan dunia pendidikan bermartabat, nilai kejujuran perlu ditegakkan. Secara jujur harus dikatakan guru adalah komponen utama yang memompa dan mengisikan seperangkat kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai roh keberhasilan pada diri siswa. Hal itu dimaksudkan agar siswa menjadi manusia yang berkualitas melalui proses pembelajaran yang dilaksanakan di kelas. Namun momentum pelaksanaan UN telah menggeser peran mulia itu menjadi peran ‘perusak’ kepribadian dan watak siswa serta ‘penggembos’ mutu pendidikan. Kepribadian siswa tampil menjadi orang yang tidak jujur, tidak percaya pada diri dan kemampuan sendiri. Peran semu yang dilakukan guru dan sekolah untuk mengamankan masa ujian yang hanya beberapa hari, namun merontokkan sendi-sendi bangunan kepribadian yang sudah dirintis dengan susah payah selama tiga tahun hanya untuk membela nama baik sekolah dan daerah. Manakala hal itu dilakukan secara bersaman, maka sesungguhnya disitu sudah berlangsung pembohongan publik. Mengapa?, oleh karena fakta hasil ujian menunjukkan nilai UN yang diperoleh anak sangat menggembirakan atau nilai yang tinggi namun bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya yakni anak-anak yang memperoleh nilai tinggi tersebut sesungguhna termasuk katagori bodoh-bodoh.
Tantangan meningkatkan kualitas lulusan
Semangat untuk meningkatkan mutu lulusan sekaligus mutu pendidikan sebagaimana yang ditegaskan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 merupakan tuntutan untuk mewujudkan lulusan yang berkualitas. Hal itu juga merupakan pemenuhan standar nasional pendidikan sebagaimana tertuang dalam UU Sisdiknas pasal 35 ayat 1. Oleh karenanya PP Nomor 19 Tahun 2005 yang di dalamnya diatur tentang standar kompetensi lulusan harus dijadikan acuan standar yang ingin dituju atau dicapai melalui proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah.
Pelaksanaan UN harus diakui bukan satu-satunya solusi untuk perbaikan kualitas pendidikan dan pancapaian standar kompetensi lulusan. Penyelenggaraan UN telah menimbulkan beragam pandangan dan penafsiran bahwa UN telah mengkerdilkan arti pendidikan sebagai tes dan mengubah makna proses pendidikan menjadi sekedar persiapan untuk lulus tes semata. Kedudukan dan fungsi UN seharusnya bukan untuk menentukan kelulusan melainkan sebagai pemetaan kualitas yang kemudian dijadikan salah satu landasan untuk memperbaiki pelayanan pendidikan oleh pemerintah. Jika UN dijadikan instrumen untuk menentukan lulus dan tidak lulus, maka UN harus memenuhi prinsip fairness yakni harus diberikan kepada mereka yang telah memiliki pengalaman belajar yang sama. Jika suatu tes yang sama diberikan kepada peserta tes yang memiliki pengalaman belajar yang berbeda dalam kualitas, maka prinsip fairness telah dilanggar. Disini UN telah dianggap melanggar prinsip ini karena UN harus diikuti oleh mereka yang memiliki pengalaman belajar dengan kualitas yang berbeda.
Terlepas dari ada atau tidaknya atau terlanggar atau tidaknya prinsip fairness, maka esensi UN sesungguhnya mencakup hal-hal yang universal tentang penyelenggaraan pendidikan di negara kita. UN merupakan muara dari mata rantai proses ujian yang secara berkesinambungan telah dilaksanakan di sekolah oleh guru. Guru adalah orang yang paling mengetahui tentang apa yang sudah dipelajari dan yang belum dipelajari peserta didik.Guru memberikan tes atau ujian untuk mengukur pencapaian siswa atas sejumlah materi atau bahan ajar yang telah disampaikan secara runtut berdasarkan ketentuan materi yang telah ditetapkan dalam kurikulum yakni standar kompetensi dan kompetensi dasar (SK dan KD). Jika diasumsikan bahwa guru telah melaksanakan perannya secara benar yakni menyampaikan bahan ajar yang diarahkan pada pencapaian SK dan KD pada bidang studi yang diajarkan, maka guru telah menempatkan siswa pada jalur yang benar dan sesuai untuk berhasil dalam mengikuti seluruh mata rantai ujian termasuk yang terakhir dalam UN.
Pertanyaan yang dapat diajukan adalah ‘bukankah UN disusun berdasarkan cakupan materi dalam kurikulum dengan perangkat SK dan KD yang sama diajarkan guru di sekolah? Oleh karenanya UN bukanlah benda siluman yang tiba-tiba muncul dari jagad raya lain lalu untuk mengukur dan menilai sesuatu di luar lingkup kegiatan pembelajaran di sekolah. UN dilahirkan dan disusun secara ‘membumi’ berdasarkan cakupan standar yang dituangkan di dalam kurikulum. Patut diherankan jika ada sementara kalangan guru atau ahli pendidikan menyatakan bahwa UN bagaikan barang aneh yang tidak sesuai untuk digunakan sebagai standar mutu sekaligus menentukan kelulusan siswa. Sekali lagi perlu dipahami bahwa UN adalah muara dari sejumlah mata rantau ‘UN-UN kecil’ yang dilaksanakan di sekolah di tiap-tiap wilayah kabupaten/kota. Oleh karenanya yang justru perlu dipertanyakan adalah apakah sekolah-sekolah yang ada tiap-tiap kabupaten/kota telah secara benar mengimplementasikan SK dan KD dalam pembelajaran? Apakah sekolah-sekolah yang ada tiap-tiap kabupaten/kota telah secara benar pula melaksanakan ujian (baca: UN kecil) untuk mengukur pencapaian SK dan KD pada diri siswa sebagai ukuran kualitas proses layanan pembelajaran yang diberikan di masing-masing sekolah?
Satu hal yang perlu ditegaskan adalah, melalui penyelenggaraan UN pemerintah memiliki kepentingan untuk mengetahui kualitas penyelenggaraan pendidikan. Setidaknya menurut Hermansaksono (2006) ada dua rantai dalam meningkatkan kualitas pendidikan, pertama: meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan itu sendiri, dan yang kedua: adalah mengevaluasi output dari hasil pendidikan secara nasional, antara lain dengan UN. Meningkatkan kualitas layanan pendidikan adalah tanggungjawab pemerintah termasuk terutama pemerintah kabupaten/kota. Jika terjadi disparitas atau ketimpangan dalam hal mutu pendidikan antardaerah, maka kesalahan itu tidak seluruhnya mesti dibebankan kepada pemerintah pusat, melainkan juga tanggungjawab pemkab dan pemko tidak bisa dilepaskan. Hal itu karena secara berjenjang kebijakan yang telah digariskan oleh pemerintah melalui seperangkat undang-undang dan peraturan seharusnya diimplementasikan oleh pemkab dan pemko secara benar dan konsisten di lapangan. Adalah tanggungjawab pemkab dan pemko untuk menjamin bahwa pelayanan pendidikan di sekolah-sekolah yang ada di wilayahnya telah diselenggarakan secara tepat arah dan bermutu. Pemkab dan pemko harus memastikan bahwa guru-guru yang ada di sekolah benar-benar mempunyai kompetensi untuk mengajarkan materi ajar sesuai tuntutan kurikulum.
Problema umum yang dipahami banyak kalangan adalah penyelenggaraan pendidikan di sekolah antara satu daerah dengan daerah lain belum sama. Masih ada bahkan jika boleh dikatakan masih banyak sekolah yang diselenggarakan dan dikelola dengan pola manajemen sederhana, penyusunan program sekolah seadanya, kelengkapan buku ajar atau buku teks dan bahan praktik yang seadanya, serta tingkat unjuk kerja guru dalam melaksanakan pembelajaran yang juga seadanya. Sebagian besar guru masih berpikir bagaimana sekedar menyelesaikan tugas dan mencapai target kurikulum, namun belum mengubah paradigma atau cara pandang bahwa yang utama dalam melaksanakan tugas bukan sekedar mencapai target kurikulum tapi bagaimana merancang strategi pembelajaran yang mendorong serta mengaktifkan siswa untuk menguasai perangkat materi sesuai yang digariskan dalam SK dan KD. Disinilah pentingnya peran pemkab dan pemko untuk merancang pola pembinaan dan pengembangan sekolah yang ada di wilayahnya dengan menetapkan strategi dan sasaran jangka pendek dan jangka panjang untuk mewujudkan layanan pendidikan yang bermutu dan tentunya menghasilkan lulusan yang bermutu pula.
Harus diakui terdapat banyak kendala yang harus ditangani dalam upaya penyelenggaraan pendidikan bermutu. Persoalan dana merupakan masalah klasik yang dianggap sebagai biang kesulitan semua ini. Akan tetapi bukankah pemerintah tetap terus berupaya mengalokasikan sejumlah besar dana dari berbagai sumber yang ada. Dalam pemaparanannya pada acara Musrenbang Provinsi Sumut tahun 2008 di Medan, Mendiknas menyatakan mengenai pendanaan massal pendidikan di Indonesia khusus program BOS, bahwa pemerintah pusat menganggarkan Rp 12.3 triliun setiap tahunnya untuk disalurkan ke seluruh wilayah Indonesia. Angka ini tergolong sangat memadai untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan di sekolah-sekolah seluruh wilayah kabupaten/kota. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah optimalisasi penggunaan dana BOS secara tepat arah untuk peningkatan mutu sekolah dan lulusan. Sejalan dengan komitmen pemerintah pusat untuk meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah kabupaten/kota ditantang untuk lebih kreatif merencanakan peningkatan mutu pendidikan di wilayahnya. Pemkab dan pemko mestinya sudah sangat mengenal dan memahami persoalan pelayanan pendidikan di wilayahnya, sehingga perlu dikembangkan strategi yang komprehensif untuk menata peningkatan mutu layanan pendidikan di sekolah.
Kembali pada persoalan pelaksanaan UN, jika kualitas layanan pendidikan sudah diupayakan untuk meningkat, tapi tidak dievaluasi secara nasional, lalu dari mana pemerintah tahu kalau kualitas pendidikan sudah lebih baik. Kalau sudah dievaluasi, dan siswa-siswa yang kualitasnya di bawah standar tetap diluluskan, berarti pemerintah melakukan kebohongan publik. Ada pula yang menawarkan ide agar standar lulusnya diturunkan? Apakah jika standar lulus diturunkan bukan justru menggambarkan kualitas akademik pelajar Indonesia semakin rendah. Ada lagi yang menggagaskan agar standar kelulusan dikembalikan pada otonomi guru dan sekolah secara lokal yang dikaitkan dengan semangat otonomi daerah. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah apa ukuran baku mutu lulusan yang digunakan antardaerah? Apakah sama baku mutu lulusan yang digunakan di Jakarta, Medan, atau Merauke, atau mungkin di Sipiongot? Bisakah kita maknai secara sama bahwa baku mutu nilai 8 yang diperoleh siswa di Medan sama dengan mutu siswa yang menerima nilai 8 di Sipiongot? Apakah kira-kira semangat untuk jujur di kalangan guru antardaerah sudah sama manakala memberikan penilaian kelulusan siswa diserahkan kepada sekolah/guru masing-masing? Jika pola seperti ini disepakati maka akan mungkin terjadi bahwa siswa (si Fulan) yang mendapat nilai 8 bisa jadi orang pintar di wilayah kab./kota A tapi belum tentu di provinsi wilayah kab./kota B. Bukankah seharusnya kepintaran adalah sesuatu yang universal? Di sinilah sesungguhnya nilai esensil pentingnya UN dilaksanakan secara nasional.
UN: menguji komitmen dan wibawa Guru
Penyelenggaraan UN telah menyingkap sejumlah ketimpangan, kecurangan yang seakan merupakan borok yang berlangsung di sekolah. Sudah bukan rahasia umum bahwa telah terjadi ketidakpatutan ketika berlangsung UN dengan berbagai bentuk. Beberapa bentuk modus operandi ketidakpatutan itu antara lain: Pertama, setelah LJK terkumpul semua, maka dilakukan pengecekan. Dengan alasan pengecekan ‘tim sukses’ sekolah memperbaiki beberapa LJK siswa berdasarkan jawaban guru dari tim sukses. Kedua, dengan memberikan kode-kode khusus kepada siswa yg sedang mengerjakan soal ujian. Hal ini kadang-kadang didukung oleh pengawas ujian yang ternyata kebanyakan tidak perduli melihat tim sukses sedang bergerilya. Bisa jadi karena jamuan/suguhan serta janji tambahan uang saku untuk sang pengawas. Ketiga, modus lain adalah pemarkupan secara berjamaah di level panitia tingkat kabupaten/kota. Dalam hal ini yg berkepentingan adalah lembaga Dinas Pendidikan, dan juga kepanitiaan yg notabene adalah juga para kepala sekolah.
Wacana tentang modus operandi di atas bukan merupakan hasil penelitian penulis namun dirujuk dari berbagai sumber yang ditelusuri. Hal yang terpenting bukanlah akurat atau tidaknya informasi itu, namun kenyataan yang dapat diamati bahwa perolehan siswa dari hasil UN yang diikutinya belum sepenuhnya menggambarkan kondisi ril kemampuan siswa. Dilihat dari segi kelembagaan sekolah, bahwa semakin tinggi angka persentase kelulusan di sekolah tersebut belum menjadi jaminan bahwa siswa-siswa yang lulus dari sekolah itu memiliki kompetensi atau mutu yang tinggi pula. Ada contoh kasus siswa SD yang nilai kelulusan UNnya rata-rata 9 namun mengalami kesulitan ketika mengikuti pelajaran di tingkat SMP. Hal itu tentu merupakan sesuatu yang paradoks dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Cara-cara yang ditempuh untuk mendongkrak perolehan nilai siswa menunjukkan terjadinya pembohongan hasil ujian. Kepatuhan guru serta ‘tim sukses’ baik di sekolah maupun di jenjang yang lebih tinggi untuk melakukan penyimpangan berjamaah jelas adalah kepatuhan yang hanya mementing kesenangan pimpinan saja tanpa sedikitpun adanya rasa idealisme sebagai pendidik. Kepatuhan yang demikian hanya ingin menaikkan pamor lembaga sekolah atau Dinas Pendidikan agar melambung ke atas, namun sesungguhnya keropos di bawah.
UN juga merupakan batu ujian wibawa dan komitmen guru. Jika guru memegang teguh komitmennya sebagai guru, apapun hasil UN itu bukan semata urusan dan tanggunjawab mereka. Tanggungjawab mereka adalah memberi yang terbaik kepada siswa yakni proses pembelajaran bermutu di kelas, memberikan layanan dan bimbingan yang bermutu kepada siswanya. Memberi yang terbaik adalah mentransferkan seperangkat pengetahuan dan keterampilan sekaligus juga memberi keteladanan, terutama kejujuran. Jika guru membantu siswa menjawab UN dengan cara memberi kunci jawaban soal itu berarti ada yang salah dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan guru. Cara-cara seperti itu sekaligus akan menciptakan orang-orang yang tidak jujur, tak punya integritas kepribadian. Tindakan guru semacam itu mengajarkan siswa menghalalkan segala cara untuk memperoleh tujuan. Bagaimana mungkin siswa yang diluluskan dengan cara curang kelak menjadi manusia yang memiliki integritas untuk menjadi pemimpin masa depan? Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah membangun anak-anak yang tidak hanya memiliki kemampuan akademik tetapi juga memiliki integritas kepribadian dan rasa percaya diri sebagai bekal menghadapi persaingan yang lebih berat dan lebih luas di masa depan.
Penutup
Peningkatan mutu pendidikan dan mutu lulusan akan terjadi apabila semua komponen pelaksana pendidikan - Depdiknas pusat dan kabupaten/kota, sekolah, serta para guru-guru memiliki komitmen yang kuat dan teguh serta kejujuran untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai amanat UU Sisdiknas dan Standar Nasional Pendidikan. UN sebagai salah satu wujud dari implementasi UU Sisdiknas dan Standar Nasional Pendidikan selain membutuhkan komitmen yang kuat namun yang lebih penting adalah kejujuran seluruh aparat jajaran pelaksana pendidikan agar dunia pendidikan dapat menyumbang terwujudnya negeri yang adil dan makmur melalui insan profesional yang dididik dalam proses pendidikan yang berkualitas.
Dalam pelaksanaan UN jika guru-guru bersikap jujur dalam kondisi apapun, maka jika siswa tidak lulus karena komitmen kejujuran, hal itu menjadi pembelajaran bagi siswa dan guru. Siswa tidak lulus akan mengevaluasi diri untuk memperbaiki cara belajar. Bagi guru, hal itu menjadi masukan untuk memperbaiki cara mengajar dan memperbaiki sikap terhadap siswa. Selain itu, kejujuran melaksanakan UN akan menjadi masukan bagi kebijakan pemerintah termasuk pemkab/pemko untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan layanan pendidikan di sekolah yang ada di wilayahnya.
Membangun dan melaksanakan kejujuran memang sulit sebab akan menampilkan keadaan apa adanya. Membangun pendidikan tanpa kejujuran, apapun rumus jitu yang dipakai, jika data yang disampaikan tetap saja salah, maka hasilnya pasti salah. Rerata nasional hasil UN pasti salah, jika hasil yang dirata-ratakan ternyata hasil dari kecurangan. Jika negeri ini ingin keluar dari multi krisis, tidak ada alasan lain selain kita harus memabangun dengan komitmen kejujuran dalam kondisi apapun. Manakala komitmen untuk jujur tidak ada maka seolah-olah dunia pendidikan kita tidak terjadi apa-apa, padahal kondisi seperti itu akan menjadi celaka karena pendidikan kita telah menghasilkan masyarakat yang tidak jujur. (waspada)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar