Sabtu, 18 April 2009

RUU-BHP BELUM SAH

Judul: RUU-BHP BELUM SAH
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): zulkarnain patunrangi
Saya Mahasiswa di palu sulteng
Topik: ss
Tanggal: 8 Juli 2007

RUU-BHP BELUM SAH
SDOPT UNTAD JALAN LURUS

Oleh : Zulkarnain Patunrangi*

Biaya pendidikan makin mahal, Rancangan Undang-Undang badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) belum disahkan akan tetapi pungutan dan biaya dibebankan kepada masyarakat (calon mahasiswa baru) sudah di terapkan di Universitas Tadulako sejak 2003 dan kemungkinan akan berlanjut sampai batas waktu yang tidak ditentukan, dengan alasan Sumbangan dana persiapan otonomi kampus (SDOPT). Bukankah ini membebani masyarakat dalam mendapatkan pendidikan yang layak?. Mungkin, belum ada survei atau penelitian berapa banyak calon mahasiswa yang tidak mampu untuk membayar biaya yang dikenakan kepadanya dalam menikmati universitas terbesar di Sulteng? Ataukah memang pendidikan sengaja diperuntukkan kepada orang-orang yang mampu?

Kalau penulis mencermati rencana mem-BHP-kan lembaga pendidikan adalah upaya komersialisasi dan tak lebih dari representasi neoliberalisme. Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) dituding berada di balik rencana ini. Ini jelas agenda neoliberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan. Seharusnya pemerintah tidak boleh lepas tangan sama sekali. Pada akhirnya memberi batas alokasi minimal pada pembiayaan pendidikan sebesar 20%, dalam RUU BHP tidak terdapat kewajiban pemerintah untuk memberi dana rutin. Ujung-ujngnya nanti hanya orang kaya yang bisa masuk. Lama-lama tidak akan terjangkau oleh orang yang tidak mampu.

Pada hakekatnya masyarakat mengetahui bahwa mendapatkan sebuah ilmu pengetahuan itu tidak murah. Butuh biaya. Akan tetapi tidak harus mahal dan membebani kepada masyarakat. Penulis mempertanyakan bagaimana kondisi sosial masyarakat kita saat ini?. Apa sudah mampu untuk menanganinya dengan biaya yang cukup mahal?. Disisi lain harus memenuhi kebutuhan kesehariannya?.

Pada hakekatnya Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHPT), tidak harus membebani klien-nya (mahasiswa) akan tetapi bagaimana kreatifitas pada pucuk pimpinan untuk menghidupi institusinya dan mendapatkan dana sebesar-besarnya, inilah yang terkadang memberi interpretasi yang salah, utamanya kepada orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari bisnis Perguruan Tinggi. Sehingga masyarakatlah yang dijadikan korban dalam mendapatkan keuangan demi menghidupi perguruan tinggi. Mulailah dibebani dengan alasan pembayaran- pembayaran yang dapat meloloskan anaknya untuk masuk ke Universitas. Mengikut pembayaran Biaya operasional pendidikan (BOP) serta SPP yang mahal.

Pada tahun 2010 pemerintah mencanangkan otonomi pada semua perguruan tinggi negeri. Ini akan memberi dampak negatif kepada masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Transisi inilah nantinya akan membenani biaya kepada masyarakat, karena selama ini perguruan tinggi negeri tergantung kepada pemerintah. Dengan menguras kantong masyarakat untuk menjadikan BHPT di Untad pada tahun 2010 bukanlah solusi yang tepat, karena kondisi masyarakat saat ini belum mampu untuk memberi biaya sepenuhnya kepada universitas.

SDOPT yang berasal dari masyarakat bukanlah solusi tepat dalam menjalakan otonomi kampus pada tahun 2010. Kesiapan kampus dalam memberi pelayanan dan fasilitas lengkap serta out-putnya juga harus dipertanyakan dan menjadi hal yang utama. Jangan sampai kampus untad hanya menjadi tempat komersialisasi dan tidak merakyat. Kemampuan analisis masa depan sekaligus manajemen perubahan yang handal mutlak diperlukan pada pimpinan di Untad utamanya senat selaku lembaga pengontrol kebijakan pimpinan. Selain itu, kemampuan sosial pun wajib dimiliki demi membangun komunikasi yang cerdas, elegan, dan egaliter dengan semua pihak yang terkait dengan universitas seperti dosen, karyawan, dan mahasiswa yang berjumlah lebih dari 15.000 orang.

Penulis menilai Kebijakan mengenai pungutan SDOPT di Untad adalah hal yang sangat memberi beban kepada masyarakat dengan tidak melihat kondisi dan keberadaan masyarakat. Kebijakan ini juga belum ada evaluasi bagaimana perkembangannya apakah telah memenuhi standarisasi terhadap pelayanan di perguruan tinggi dan kondisi ekonomi calon mahasiswa? Begitupula dengan pembuatan kebijakan yang telah diterapkan selama empat tahun terakhir damana kebijakan ini tidak ada legitimasi atas anggota senat. Seharusnya senat dan pimpinan di Untad meninjau kembali keputusan ini sebelum di berlakukan kepada calon mahasiswa mahasiswa tahun 2007.

Pada intinya, bentuk apa pun suatu perguruan tinggi, selama dimaksudkan untuk memperluas akses masyarakat mendapatkan pendidikan, semakin bagus dan Saat Sekarang kita tinggal menunggu suara senat selaku lembaga yang representatif perwakilan civitas akademika untuk memperjuangkan masyarakat kecil untuk tetap mendaptakan kursi di UNTAD? Serta kebijakan pimpinan UNTAD untuk meninjau kembali keputusan tentang SDOPT dan jangan sampai mengundang protes masyarakat dengan berteriak, "Orang miskin dilarang kuliah."

Catatan 2 dari Undata

15 Juni 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar