Rabu, 22 April 2009

Bagaimana Memahami Kurikulum Pendidikan?

Surjanto Budiwalujo

Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Fasli Jalal mengatakan bahwa pelaksanaan sertifikasi guru akan dimulai pertengahan 2006 (Kompas, 27 Februari 2006). Di lain pihak, Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Bambang Suhendro menegaskan bahwa tahun 2006 direncanakan ada pergantian kurikulum, yaitu berupa kurikulum hasil kreasi guru di sekolah.

Dua pernyataan dari petinggi pendidikan itu sekilas memberikan harapan bahwa dengan sertifikasi guru dan kebebasan guru dalam mengembangkan kurikulum dapat membawa perbaikan mutu pendidikan kita. Rasanya penulis tidak begitu optimis dengan pernyataan tersebut jika guru atau calon guru tidak memiliki kompetensi manajemen pengembangan kurikulum dan dasar-dasar manajemen mutu terpadu.

Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya peran kurikulum dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan peserta didik nantinya, maka pengembangan kurikulum tidak bisa dikerjakan sembarangan.

Di samping itu, program pendidikan harus dirancang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan diorientasikan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang dan akan terjadi. Oleh karena itu, kurikulum sekarang harus dirancang oleh guru bersama masyarakat pemakai.

Untuk bisa merancang kurikulum yang demikian, guru harus memiliki peranan yang amat sentral. Oleh karena itu pula, kompetensi manajemen pengembangan kurikulum perlu dimiliki oleh setiap guru di samping kompetensi teori belajar.

Setiap ada kebijakan pergantian kurikulum, dunia pendidikan disibukkan dengan berbagai kegiatan ilmiah. Namun, kegiatan itu tidak membawa pencerahan bagi guru, sebaliknya justru membawa frustrasi karena membingungkan.

Di samping membingungkan, model berbagai kegiatan ilmiah selama ini hanya mendengarkan orang berceramah, tanpa action plan yang serius sehingga dapat dikembangkan dan diimplementasikan oleh guru setelah sampai di sekolah. Bahkan, mungkin si penceramah itu hanya mampu secara teoretik tapi miskin implementasi dan pengalaman, sehingga action plan yang dilakukan hanya untuk menghabiskan waktu kegiatan. Model kegiatan semacam itu tidak pernah diadakan evaluasi, yaitu penagihan dalam bentuk implementasi dari peserta kegiatan.

Sebaliknya, guru yang mengikuti kegiatan ilmiah tanpa membekali dirinya dengan tema kegiatan yang diikuti, sehingga dalam kegiatan mereka asyik mencatat apa yang diucapkan oleh pembicara. Padahal, penyelenggara kegiatan jauh-jauh hari mestinya dapat menginformasikan segala sesuatu yang menjadi persyaratan untuk mengikuti kegiatan tersebut. Hal semacam ini tidak pernah dilakukan.

Akumulasi dari semua kegiatan tersebut dapat diprediksi: tidak ada perubahan kinerja yang dapat membawa ke arah peningkatan kompetensi guru dan mutu pendidikan. Pengalaman menunjukkan, dengan berbagai pergantian kurikulum toh tidak ada perubahan dan tampaknya tidak dijadikan bahan refleksi oleh birokrat pendidikan maupun lembaga pendidikan tenaga kependidikan.

Manajemen pengembangan

Sudah terbukti berkali-kali bahwa pergantian kurikulum tidak dapat membawa perubahan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Berbagai kegiatan ilmiah—baik penataran guru, seminar, dan pelatihan-pelatihan—kurang memberikan hasil yang meluas.

Kiranya sudah waktunya dipikirkan bahwa memberi bekal manajemen pengembangan kurikulum, teori belajar dan dasar- dasar manajemen mutu terpadu bagi guru dan calon guru sangat diperlukan. Di sinilah letak pentingnya peran LPTK yang mendidik calon guru dan yang akan menguji kompetensi guru.

Celakanya, dalam Pasal 5 (Ayat 1 dan 2) PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tidak dijelaskan bagaimana cara mencakup standar isi kurikulum itu. Lebih celaka lagi bila banyak guru yang memandang kurikulum dalam arti sempit. Mestinya, kurikulum harus dipandang dalam arti luas.

Menurut Beane (1986), yang dimaksud cara pandang kurikulum dalam arti sempit adalah bahwa kurikulum hanya berupa sekumpulan daftar mata pelajaran yang harus diajarkan kepada peserta didik, sedangkan cara pandang kurikulum dalam arti luas adalah bahwa kurikulum di samping berupa daftar kumpulan mata pelajaran juga harus diartikan sebagai kegiatan belajar dan sebagai pengalaman belajar peserta didik. Jadi, jika guru memandang kurikulum dalam arti sempit, mereka akan berpedoman secara ketat pada GBPP, bukannya proses pembelajaran demi penguasaan kompetensi yang dibutuhkan oleh peserta didik. Orientasi pembelajarannya pun didominasi guru (teacher centred).

Akibat kurikulum hanya dipahami dalam arti sempit, maka yang terjadi adalah pencapaian target penyelesaian dengan domain kognitif semata. Tentunya cara pandang kurikulum yang demikian itu akan cocok jika tujuan akhirnya adalah untuk memperoleh nilai baik dalam ujian nasional agar lulus.

Berbeda dengan cara pandang kurikulum dalam arti luas. Cara pandang ini menuntut guru untuk mampu berkreativitas, mengaitkan perilakunya di depan kelas dengan konteks pembelajaran yang menjadi pengalaman dan dibutuhkan oleh peserta didik, sehingga orientasi pembelajarannya berpusat pada peserta didik (learner centred).

Selama ini, sejauh yang penulis ketahui, banyak guru yang memandang kurikulum dalam arti sempit, sehingga tidak usah heran jika Kurikulum Berbasis Kompetensi yang sudah diterapkan beberapa tahun ini mengalami kegagalan.

Dari pengalaman buruk itu, lalu timbul pertanyaan, materi kuliah apakah yang diberikan di LPTK untuk mata kuliah kurikulum pendidikan dan teori belajar? Apakah dengan adanya kebebasan guru untuk berkreativitas dalam mengembangkan kurikulum pembelajarannya akan membawa ke arah peningkatan mutu pendidikan? Bagaimana dengan budaya kerja guru-guru kita? Dan, apakah sertifikasi kompetensi pedagogik juga mengarah pada pembedahan wawasan guru tentang cara pandang kurikulum?

Di sinilah letak pentingnya manajemen pengembangan kurikulum yang harus dikuasai oleh guru/calon guru. Dalam manajemen pengembangan kurikulum, guru akan menemui setidaknya delapan problem yang berkaitan dengan standar isi dan standar proses kurikulum.

Kedelapan problem itu adalah (1) bagaimanakah membatasi ruang lingkup atau keluasan materi; (2) bagaimanakah mengaitkan relevansi materi dengan kompetensi yang dibutuhkan; (3) bagaimana memilih materi agar ada keseimbangan untuk peserta didik maju dan yang lamban belajar; (4) bagaimanakah mengintegrasikan materi yang satu dengan materi lainnya sehingga tidak terjadi duplikasi; (5) bagaimanakah mengurutkan materi dan kompetensi yang diperlukan; (6) bagaimanakah agar materi atau kompetensi berkesinambungan dan berjenjang; (7) bagaimanakah merealisasikan artikulasi materi atau kompetensi secara menyeluruh; dan (8) bagaimanakah materi atau kompetensi yang diberikan dapat menjangkau masa depan/memiliki daya guna bagi kehidupan peserta didik.

Kedelapan problem itu harus mampu dianalisis oleh guru. Setelah guru mampu mengembangkan kurikulum tentunya diperlukan verifikasi terus-menerus agar materi yang dikembangkan selalu up to date untuk kebutuhan pasar. Di sinilah letak pentingnya wawasan manajemen mutu terpadu dari guru agar selalu mampu melakukan plan, do, check, action (PDCA).

Dari uraian di muka, tentunya sudah tidak relevan lagi jika kegiatan ilmiah hanya mendengarkan orang berceramah. Sebaliknya, hanya action plan yang dapat menjawab terhadap pemahaman kurikulum.

Dengan demikian, gurulah yang menjadi pengembang kurikulum. Sebaliknya, BSNP tidak menjadi line staff. BSNP cukup membuat standar kompetensi minimal yang harus dikuasai oleh peserta didik.

Surjanto Budiwalujo
Guru SMK YP 17-1 Madiun

Olah Rasa dan Budi Pekerti Minim dalam Kurikulum

Kompas, Jumat, 30 Januari 2009 | 15:18 WIB

Yogyakarta, Kompas - Penyelenggaraan ekstrakurikuler seni tradisional bisa menambah daya tarik sekolah swasta. Penyelenggaraan kegiatan kesenian tradisional secara konsisten akan membentuk ciri khas sekolah itu.

Kepala SMA Bopkri 2 Yogyakarta Sri Rahayuningsih mengatakan, keunggulan di bidang seni tradisional bisa menjadi nilai tambah yang unik bagi sebuah sekolah karena tidak semua sekolah memiliki kelebihan tersebut. "Saat ini, sebagian besar sekolah justru lebih terfokus pada penguasaan teknologi atau olahraga. Sebagian besar malah melupakan kesenian tradisional," katanya di Yogyakarta, Kamis (29/1).

Penggiatan seni tradisional di sekolah juga bertujuan mengajarkan olah rasa dan pendidikan budi pekerti yang dirasa sangat minim dalam kurikulum pendidikan. Oleh karena itu, dalam ekstrakurikuler seni tradisional, murid tidak dituntut menguasai sepenuhnya sehingga dapat bermain dengan mahir. "Yang paling penting bagi kami adalah mengajarkan para murid untuk berbudaya dan berlaku santun," kata Sri.

Sri mengungkapkan, upaya untuk memupuk keunggulan seni tradisional di sekolah itu telah berlangsung selama enam bulan terakhir. Selain batik, SMA Bopkri 2 Yogyakarta menyelenggarakan ekstrakurikuler gamelan, gejog lesung, dan ketoprak.

Menurut Wakil Kepala Humas SMA Bopkri 2 Yogyakarta Samuel Sunu Nugraha, sambutan para murid terhadap ekstrakurikuler kesenian tradisional ini cukup menggembirakan. Pada tahun pertama saja jumlah peminat mencapai 50 orang. "Memang masih lebih sedikit dibanding basket, tapi ini sudah melebihi harapan," tuturnya.

Pada kesempatan yang berbeda, pembimbing kelompok gamelan SD Kanisius Minggir, AY Sumiyem, mengatakan, penyelenggaraan ekstrakurikuler gamelan telah membantu SD tersebut dalam mempertahankan jumlah murid. Gamelan menjadi salah satu daya tarik utama bagi wali murid saat mendaftarkan anaknya. "Sementara sekolah swasta lain semakin kekurangan murid, di tempat kami jumlahnya tetap. Sebagian karena tertarik pada kegiatan gamelan di sini," ujarnya. (IRE)

ire

Teori Pendidikan dan Kurikulum

iterbitkan 31 Januari 2008 kurikulum dan pembelajaran
Tags: artikel, berita, KTSP, kurikulum, makalah, opini, pembelajaran, pendidikan, teori, umum

Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.

Kurikulum memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum dan teori kurikulum dijabarkan berdasarkan teori pendidikan tertentu. Nana S. Sukmadinata (1997) mengemukakan 4 (empat ) teori pendidikan, yaitu :

(1) pendidikan klasik; (2) pendidikan pribadi; (3) teknologi pendidikan dan (4) teori pendidikan interaksional.
1.Pendidikan klasik (classical education),
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti Perenialisme, Eessensialisme, dan Eksistensialisme dan memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik.
Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan proses ”penelitian”, melalui metode ekspositori dan inkuiri.
2.Pendidikan pribadi (personalized education).
Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.
Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Pendidikan progresif dengan tokoh pendahulunya- Francis Parker dan John Dewey - memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, ia dapat memahami dan menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli dalam metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau tentang tabula rasa, yang memandang setiap individu dalam keadaan fitrah,– memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan.
Teori pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis. yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis),
3.Teknologi pendidikan,
Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam tekonologi pendidikan, lebih diutamakan adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama. Dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa data-data obyektif dan keterampilan-keterampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vocational . Isi disusun dalam bentuk desain program atau desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan bantuan media elektronika dan para peserta didik belajar secara individual. Peserta didik berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien tanpa refleksi. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat. Guru berfungsi sebagai direktur belajar (director of learning), lebih banyak tugas-tugas pengelolaan dari pada penyampaian dan pendalaman bahan.
Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum teknologis, yaitu model kurikulum yang bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi para peserta didik, melalui metode pembelajaran individual, media buku atau pun elektronik, sehingga mereka dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar tertentu.
4.Pendidikan interaksional,
Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia lainnya. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi. Dalam pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak dari guru kepada peserta didik dan dari peserta didik kepada guru. Lebih dari itu, interaksi ini juga terjadi antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk dialog. Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari fakta-fakta. Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu filsafat rekonstruksi sosial.

Pendidikan interaksional menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu model kurikulum yang memiliki tujuan utama menghadapkan para peserta didik pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Peserta didik didorong untuk mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial) dan bekerja sama untuk memecahkannya.
Sumber : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/31/teori-pendidikan-dan-kurikulum/

Berharap Kepada KTSP

Ditulis Oleh Wiyanto, S.Pd

Suara Merdeka, 28-05-2008,

Sementara negara lain berpacu meningkatkan teknologi dalam pendidikan, negara kita masih terseok-seok menentukan kurikulum apa yang tepat. Mungkin sudah menjadi tradisi para pemimpin negeri ini untuk menancapkan monumen kepemimpinan mereka, melalui kebijakannya, termasuk dalam bidang pendidikan. Sehingga tak heran, setiap ganti menteri, ganti kebijakan.

Entah sudah berapa kali kurikulum pendidikan di negeri ini berganti, menyebabkan buku kakak tak lagi dimanfaatkan adiknya. Belum selesai kurikulum A, sudah diganti dengan kurikulum B, belum selesai dilaksanakan kurikulum B sudah berganti lagi dengan kurikulum C. Yang terakhir, kurikulum baru yang dinamakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) untuk mengganti sistem KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang diterapkan sebelumnya.

Apa sih KTSP itu? KTSP adalah sebuah kurikulum yang diberlakukan berdasarkan Permendiknas No. 19 tahun 2007, yang memungkinkan sekolah menentukan sendiri kurikulum yang diajarkan kepada para siswa. Meski dibebaskan, namun kompetensi siswa telah dirumuskan dalam KBK. Dengan kebebasan ini, seorang guru diharapkan bisa memiliki inovasi dan daya kreatifitas yang tinggi untuk menyampaikan materi kepada peserta didiknya dengan baik. Penentuan kurikulum ini bisa berbeda antar satu sekolah dengan lainnya, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan para siswa.

Kurikulum baru ini belum teruji kualitas dan efektivitasnya. Banyak pula guru yang masih gagap untuk menyusun bahan ajar sendiri untuk memenuhi kompetensi yang diharapkan. Ya, semua memang butuh waktu. Kita berharap banyak pada kurikulum baru ini, agar tak semakin tertinggal dari negara lain.

Landasan Kurikulum

Diterbitkan 22 Januari 2008 kurikulum dan pembelajaran
Tags: artikel, berita, KTSP, kurikulum, makalah, opini, pembelajaran, pendidikan, umum
Oleh : Akhmad Sudrajat
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tersebut.
1.Landasan Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti : perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
a.Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
b.Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
c.Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia ? Apa pengalaman itu ?
d.Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
e.Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu ? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.
2.Landasan Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi“.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :
a.motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
b.bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
c.konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang;
d.pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan
e.keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.
3.Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukamdinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.

4.Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian..
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.

Ekstrakulikuler

Selasa, 16 Desember 2008 10:08

Oleh: Pembina Siswa

KEGIATAN ekstrakurikuler merupakan kegiatan yang diselenggarakan di luar jam pelajaran yang tercantum dalam struktur program sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sekolah. Kegiatan ekstrakurikuler berupa kegiatan pengayaan dan kegiatan perbaikan yang berkaitan dengan program kurikuler. Hal ini berdasarkan pada SK Mendikbud 0461/U/1984 dan SK Dirjen Dikdasmen 226/C/Kep/O/1992, kegiatan ekstra kurikuler merupakan salah satu jalur pembinaan kesiswaan di samping jalur OSIS, latihan kepemimpinan dan wawasan wiyatamandala.
Dengan demikain kegiatan ekstrakurikuler bertujuan untuk memperluas pengetahuan siswa, dalam arti memperkaya, mempertajam, serta memperbaiki pengetahuan para siswa yang berkaitan dengan mata pelajaran sesuai dengan program kurikulum yang ada.


Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler antara lain mengembangkan siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dengan melihat tujuan tersebut, tentunya diperlukan suatu proses pendidikan yang bisa mengembangkan semua aspek yang diperlukan bagi siswa. Pendidikan intrakurikuler telah dikembangkan secara maksimal dengan berbagai macam pembaharuan kurikulum, dengan harapan proses penyelenggaraan pendidikan dapat berjalan secara efektif, potensi siswa dapat berkembang secara optimal dan siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan kreativitas dan imajinasinya.

Sumber :
http://sman1cicurug.sch.id/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=35&Itemid=57

PEMBINAAN KESISWAAN

Maret 4, 2008

drssuharto @ 3:33 pm

A. DASAR PEMIKIRAN

Pembangunan di bidang pendidikan diarahkan kepada pengembangan sumberdaya manusia yang bermutu tinggi, guna memenuhi kebutuhan dan menghadapi tantangan kehidupan di masa depan. Melalui pendidikan, sumberdaya manusia yang bersifat potensi diaktualisasikan hingga optimal; dan seluruh aspek kepribadian dikembangkan secara terpadu.


Sejalan dengan peningkatan mutu sumberdaya manusia, Departemen Pendidikan Nasional terus berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama (Direktorat PSMP), Ditjen Mandikdasmen, dalam hal ini telah melakukan berbagai upaya, baik pengembangan mutu pembelajaran, pengadaan sarana dan prasarana, perbaikan manajemen kelembagaan sekolah, maupun pembinaan kegiatan kesiswaan.


Peningkatan mutu pendidikan di sekolah tidak hanya terpaku pada pencapaian aspek akademik, melainkan aspek non-akademik juga; baik penyelenggaraannya dalam bentuk kegiatan kurikuler ataupun ekstra-kurikuler, melalui berbagai program kegiatan yang sistematis dan sistemik. Dengan upaya seperti itu, peserta didik (siswa) diharapkan memperoleh pengalaman belajar yang utuh; hingga seluruh modalitas belajarnya berkembang secara optimal.


Di samping itu, peningkatan mutu diarahkan pula kepada guru sebagai tenaga kependidikan yang berperan sentral dan strategis dalam memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik di sekolah. Peningkatan mutu guru merupakan upaya mediasi dalam rangka pembinaan kesiswaan. Tujuan dari peningkatan mutu guru adalah pengembangan kompetensi dalam layanan pembelajaran, pembimbingan, dan pembinaan kesiswaan secara terintegrasi dan bermutu.


Dengan demikian, dalam pembinaan kesiswaan terlingkup program kegiatan yang langsung melibatkan peserta didik (siswa) sebagai sasaran; ada pula program yang melibatkan guru sebagai mediasi atau sasaran antara (tidak langsung). Namun, sasaran akhir dari kinerja pembinaan kesiswaan adalah perkembangan siswa yang optimal; sesuai dengan karakteristik pribadi, tugas perkembangan, kebutuhan, bakat, minat, dan kreativitasnya.

B. Kompetensi Pembina Kesiswaan

Walaupun di sekolah-sekolah telah ada wakil kepala sekolah urusan kesiswaan, akan tetapi sifatnya koordinatif dan administratif. Ia bertugas mewakili kepala sekolah dalam hal memadukan rencana serta mengkoordinasikan penyelenggaraan pembinaan kesiswaan sebagai bagian yang terpadu dari keseluruhan program pendidikan di sekolah.


Pada dasarnya, pembinaan kesiswaan di sekolah merupakan tanggung jawab semua tenaga kependidikan. Guru adalah salah satu tenaga kependidikan yang kerap kali berhadapan dengan peserta didik dalam proses pendidikan. Guru sebagai pendidik bertanggungjawab atas terselenggaranya proses tersebut di sekolah, baik melalui bimbingan, pengajaran, dan atau pelatihan. Seluruh tanggung jawab itu dijalankan dalam upaya memfasilitasi peserta didik agar kompetensi dan seluruh aspek pribadinya berkembang optimal. Apabila guru hanya menjalankan salah satu bagian dari tanggung jawabnya, maka perkembangan peserta didik tidak mungkin optimal. Dengan kata lain, pencapaian hasil pada diri peserta didik yang optimal, mempersyaratkan pelayanan dari guru yang optimal pula.


Oleh karena guru merupakan tenaga kependidikan, maka guru pun bertanggungjawab atas terselenggaranya pembinaan kesiswaan di sekolah secara umum dan secara khusus terpadu dalam setiap mata pelajaran yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Dengan demikian, setiap guru sebagai pendidik seyogianya memahami, menguasai, dan menerapkan kompetensi bidang pembinaan kesiswaan.


Dalam kerangka berpikir dan bertindak seperti itulah dikembangkan standar kompetensi guru bidang pembinaan kesiswaan; yang selanjutnya dirinci ke dalam sub-sub kompetensi dan indikator-indikator sebagai rujukan penyelenggaraan pembinaan kesiswaan. Keseluruhan indikator yang diturunkan dari enam kompetensi dasar yang dimaksud dapat dijadikan acuan, baik bagi penyelenggaraan pembinaan kesiswaan secara umum dalam program pendidikan di sekolah; maupun secara khusus terpadu dalam program pembelajaran dan bimbingan yang menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran dan guru pembimbing.

C. Fungsi dan Tujuan

Fungsi dan tujuan akhir pembinaan kesiswaan secara umum sama dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; sebagaimana tercantum dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II, Pasal 3, yang berbunyi sebagai berikut.


Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.


Adapun secara khusus, pembinaan kesiswaan ditujukan untuk memfasilitasi perkembangan peserta didik (siswa) melalui penyelenggaraan program bimbingan, pembelajaran, dan atau pelatihan, agar peserta didik dapat mewujudkan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.

1. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bentuk kegiatannya antara lain: (a) pelaksanaan ibadah yang sesuai dengan ajaran agama masing-masing; (b) kegiatan-kegiatan keagamaan; (c) peringatan hari-hari besar keagamaan; (d) perbuatan amaliyah; (e) bersikap toleran terhadap penganut agama lain; (f) kegiatan seni bernafaskan keagamaan; dan (g) lomba yang bersifat keagamaan.

2. Kepribadian yang utuh dan budi pekerti yang luhur . Kegiatannya dapat dalam bentuk pelaksanaan: (a) tata tertib sekolah; (b) tata krama dalam kehidupan sekolah; dan (c) sikap hormat terhadap guru, orangtua, sesama siswa, dan lingkungan masyarakat.

3. Kepemimpinan. Kegiatan kepemimpianan antara lain siswa dapat berperan aktif dalam OSIS, kelompok belajar, kelompok ilmiah, latihan dasar kepemimpinan, forum diskusi, dan sebagainya.

4. Kreativitas, keterampilan, dan kewirausahaan. Dalam hal ini bentuk kegiatannya, antara lain: (a) keterampilan menciptakan suatu barang menjadi lebih berguna; (b) kreativitas dan keterampilan di bidang elektronika, pertanian/perkebunan, pertukangan kayu dan batu, dan tata laksana rumah tangga (PKK); (c) kerajinan dan keterampilan tangan; (d) koperasi sekolah dan unit produksi; (e) praktik kerja nyata; dan (f) keterampilan baca-tulis.

5. Kualitas jasmani dan kesehatan. Kegiatannya dapat dalam bentuk: (a) berperilaku hidup sehat di lingkungan sekolah, rumah, dan masyarakat; (b) Usaha Kesehatan Sekolah/UKS; (c) Kantin Sekolah; (d) kesehatan mental; (e) upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba; (f) pencegahan penularan HIV/AIDS; (g) olah raga; (h) Palang Merah Remaja (PMR); (i) Patroli Keamanan Sekolah (PKS); (j) Pembiasaan 5K (keamanan, kebersihan, ketertiban, keindahan, dan kekeluargaan); dan (k) peningkatan kemampuan psikososial untuk mengatasi berbagai tantangan hidup.

6. Seni-Budaya. Kegiatannya dapat dalam bentuk: (a) wawasan keterampilan siswa di bidang seni suara, tari, rupa, musik, drama, photografi, sastra, dan pertunjukan; (b) penyelenggaraan sanggar seni; (c) pementasan/pameran berbagai cabang seni; dan (d) pengenalan dan apresiasi seni-budaya bangsa.

7. Pendidikan pendahuluan bela negara dan wawasan kebangsaan. Bentuk kegiatannya antara lain: (a) upacara bendera; (b) bhakti sosial/masyarakat; (c) pertukaran pelajar; (d) baris berbaris; (e) peringatan hari besar bersejarah bangsa; (f) wisata siswa (alam, tempat bersejarah); (g) pencinta alam; (h) napak tilas; dan (i) pelestarian lingkungan.

D. Kaitan Kompetensi Dengan Materi

Materi program pembinaan kesiswaan dikembangkan dari enam kompetensi standar yang harus dikuasai oleh guru pembina kesiswaan. Dalam penerapannya, para guru diharapkan berangkat dari pengkajian secara seksama terhadap setiap kompetensi, sub kompetensi, dan indikator-indikator tersebut. Selanjutnya dipertimbangkan kesesuaiannya dengan bidang masing-masing dan atau bidang kegiatan bakat, minat, dan kreativitas siswa. Pada giliran berikutnya, para guru dapat menuangkan hasil pengkajian itu ke dalam rancangan program pembinaan kesiswaan yang terpadu dalam keseluruhan program pendidikan di sekolah.


Matrik berikut menunjukkan keterkaitan antara kompetensi dengan materi bidang pembinaan kesiswaan. Dengan mencermati matrik yang dimaksud, para guru diharapkan dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang kompetensi dan materi bidang pembinaan kesiswaan. Dari gambaran yang jelas, selanjutnya para guru dapat merancang, melaksanakan, dan menilai program pembinaan kesiswaan secara komprehensif.

E. Materi Program

Dalam keseluruhan program Direktorat PSMP, program-program pembinaan kesiswaan termasuk kelompok bidang peningkatan mutu. Di dalam kelompok program peningkatan mutu terdapat bagian-bagian atau sub kelompok program yang memayungi program-program pembinaan kesiswaan. Berdasarkan sub kelompok program peningkatan mutu, program-program pembinaan kesiswaan ada yang langsung melibatkan siswa sebagai sasaran kegiatan; ada pula yang melibatkan guru sebagai sasaran tidak langsung (mediasi/sasaran antara). Adapun sub kelompok program pembinaan kesiswaan meliputi sebagai berikut.


1. Lokakarya Kegiatan Kesiswaan , terdiri dari: (a) Kegiatan yang bersifat akademik; dan (b) Kegiatan non-akademik.

2. Pengembangan Program Kesiswaan , meliputi pengembangan: (a) klub olah raga siswa; (b) klub bakat, minat, dan kreativitas siswa; (c) etika, tata tertib, dan tata kehidupan sosial di sekolah; dan (d) Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).

3. Program Pra-vokasional untuk siswa SMP dinamakan Program Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup Melalui Pendidikan Pra-vokasional.

4. Program Lomba Kesiswaan , meliputi: (a) International Junior Science Olympiad/IJSO; (b) Olimpiade Sains Nasional untuk Siswa SMP; (c) Lomba Penelitian Ilmiah Pelajar (LPIP); (d) Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Siswa SMP; (e) Lomba Mengarang Dalam Bahasa Indonesia; (f) Lomba Pidato Dalam Bahasa Inggris; dan (g) Lomba Motivasi Belajar Mandiri (Lomojari) untuk Siswa SMP Terbuka.

5. Pembinaan Lingkungan Sekolah , terdiri dari: (a) Asistensi Pendidikan Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba; (b) Program Pembinaan Sekolah Sehat (Lomba Sekolah Sehat/LSS); dan (c) Program Pendidikan Budi Pekerti.

F. Strategi Pelaksanaan

Sesuai dengan tujuan dan karakteristik materi program pembinaan kesiswaan tersebut di atas, maka strategi yang digunakan meliputi pelatihan (terintegrasi dan distrik), lokakarya, kunjungan sekolah (school visit), dan perlombaan/pertandingan (bersifat kompetisi). Penggunaan jenis strategi bersifat fleksibel, dalam arti dapat digunakan satu strategi untuk program tertentu; dan atau beberapa strategi dikombinasikan dalam pelaksanaan satu atau beberapa program, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pelaksanaan.


Di samping itu, dasar pertimbangan penggunaan suatu strategi mencakup aspek-aspek sebagai berikut: (1) keluasan materi dan sasaran program; (2) waktu dan tempat penyelenggaraan; (3) tenaga pelaksana; dan (4) dana yang tersedia.

Strategi pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi digunakan dalam program pembinaan kesiswaan yang melibatkan sasaran guru atau tenaga pendidikan; dan pelaksanaan pelatihan itu merupakan bagian dari program pelatihan lainnya (program induk) yang serumpun. Dalam hal ini, baik biaya, tenaga pelatih, maupun bahan atau materi pelatihan program pembinaan kesiswaan merupakan bagian dari program induk.


Strategi pelatihan distrik (district training) merupakan bentuk pengembangan kapasitas aparat pendidikan tingkat provinsi, kabupaten-kota, dan atau sekolah yang diselenggarakan di tingkat provinsi tentang program pembinaan kesiswaan tertentu atau program yang serumpun. Tentu saja, biaya, tenaga pelatih, dan bahan atau materi pelatihan berasal dari pusat; sedangkan tempat/lokasi pelatihan dikoordinasikan dengan pihak provinsi.


Strategi lokakarya (workshop) digunakan dalam rangka menghasilkan sesuatu, baik berupa rumusan acuan, rencana kegiatan, pengembangan teknik atau instrumen, maupun kesamaan persepsi, wawasan, dan komitmen untuk kepentingan pelaksanaan program yang terlingkup dalam bidang pembinaan kesiswaan. Lokakarya dapat diselenggarakan secara nasional atau di tingkat pusat; dan dapat pula dibagi menjadi beberapa region penyelenggaraan.


Kunjungan sekolah (school visit) merupakan strategi yang digunakan dalam bentuk kegiatan pemantauan (monitoring), penilaian (evaluasi), pengamatan (observasi), studi kasus, dan atau konsultasi klinis-pengembangan, baik tentang persiapan, pelaksanaan, maupun hasil suatu program pembinaan kesiswaan. Strategi kunjungan sekolah dilaksanakan terutama untuk mempersempit kesenjangan antara kebijakan yang dihasilkan di tingkat pusat dengan pelaksanaan suatu program pembinaan kesiswaan di tingkat sekolah sasaran.


Perlombaan merupakan strategi pelaksanaan program pembinaan kesiswaan yang bersifat kompetitif, melibatkan siswa atau sekolah peserta secara langsung dalam suatu event atau kegiatan, baik yang bertaraf internasional maupun nasional. Strategi perlombaan dapat dilaksanakan sebagai kegiatan tunggal (bukan kegiatan yang dilaksanakan secara bertahap dari tingkat bawah); dapat pula (lazimnya) dilakukan secara bertahap dari tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat nasional ataupun internasional.

G. Evaluasi

Evaluasi perlu dilakukan untuk mengukur kadar efektivitas dan efisiensi setiap program pembinaan kesiswaan. Pada gilirannya, hasil evaluasi dapat dijadikan dasar pertimbangan lahirnya kebijakan tentang tindak lanjut program. Prinsip evaluasi tersebut mengindikasikan bahwa evaluasi seyogianya dilakukan terhadap setiap program pembinaan kesiswaan, baik berkenaan dengan aspek persiapan, pelaksanaan, maupun hasil. Setiap aspek program perlu dievaluasi dengan mempergunakan instrumen yang terandalkan dan petugas evaluasi yang kompeten; sehingga hasil evaluasi dapat dipertanggungjawabkan dan berguna untuk pengambilan keputusan.

H. Pelaporan

Pelaporan setiap program pembinaan kesiswaan didasarkan atas data dan atau informasi yang dihasilkan dari kegiatan evaluasi. Agar keotentikan laporan diperoleh, maka laporan disusun secara komprehensif setelah selesai pelaksanaan suatu program. Pelaporan untuk setiap program pembinaan kesiswaan merupakan bagian dari tugas penanggung-jawab program yang bersangkutan. Format laporan disesuaikan dengan kebutuhan atau panduan masing-masing satuan program. Dengan demikian, pelaporan dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan suatu program. (ditulis oleh : Mamat Supriatna).

Sumber : http://drssuharto.wordpress.com/category/manajemen-pendidikan/

Sosialisasi Pembinaan Kesiswaan 2008 Pengembangan Potensi Siswa Melalui Pembinaan Kesiswaan

Sosialisasi Pembinaan Kesiswaan 2008 Pengembangan Potensi Siswa Melalui Pembinaan Kesiswaan


03 November 2008

Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Sub Direktorat Kegiatan Kesiswaan mengadakan Sosialisasi Pembinaan Kesiswaan di 33 Provinsi Indonesia, salah satunya di Provinsi Jawa Barat. Kamis (30/10), kegiatan Sosialisasi Pembinaan Kesiswaan dipusatkan di Kota Kembang, Bandung. Tepatnya di Aula Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Dalam kegiatan ini, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat mengundang 80 pengurus OSIS dan guru pembina yang berasal dari beberapa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Antara lain Tasikmalaya, Cirebon, Sumedang, Ciamis, Cianjur, Banjarsari, Cimahi dan lain-lain.

Acara diawali dengan informasi Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) oleh Prof. Dr. M. Ansjar, Guru Besar Luar Biasa Departemen Matematika, Institut Teknologi Bandung (ITB). Para peserta tampak serius mengikuti ulasan yang diberikan Prof. Dr. M. Ansjar mengenai LPIR. Beberapa diantaranya juga banyak yang melontarkan pertanyaan seputar kiat-kiat agar siswa termotivasi untuk melakukan penelitian ilmiah, dan sebagainya. Selain diskusi dan tanya jawab mengenai topik yang dibahas, juga diadakan session games untuk menguji kecerdasan dan ketangkasan siswa.

Drs. Eddy Purwanto selaku Koordinator dan nara sumber dari Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas memaparkan bahwa Kegiatan Sosialisasi Pembinaan Kesiswaan ini dilakukan dalam rangka menyebarkan informasi tentang kegiatan-kegiatan kesiswaan yang telah dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, serta rencana kegiatan kesiswaan tahun 2009. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain LPIR (Lomba Penelitian Ilmiah Remaja), OSN (Olimpiade Sains Nasional), FLS2N (Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional), O2SN (Olimpiade Olahraga Siswa Nasional), Debat Bahasa Inggris, SYC (Sunburst Youth Camp) dan ASE (ASEAN Student Exchange). Melalui kegiatan ini, diharapkan siswa dapat mengikuti berbagai kompetisi yang diadakan sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing, dan tentunya dapat mengukir prestasi baik di tingkat nasional maupun internasional.

Lebih lanjut Eddy mengatakan, tujuan pembinaan kesiswaan ini adalah untuk mengembangkan potensi siswa secara optimal dan terpadu yang meliputi bakat, minat, dan kreatifitas. Melalui pembinaan kesiswaan juga diharapkan siswa dapat memantapkan kepribadiannya untuk mewujudkan ketahanan sekolah sebagai lingkungan pendidikan (Wawasan Wiyatamandala), sehingga siswa dapat terhindar dari pengaruh negatif yang bertentangan dengan tujuan pendidikan.

Kegiatan Sosialisasi Pembinaan Kesiswaan ditutup oleh Kasubdin Dikmen Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Drs. H. Syarif Hidayat, M.Pd. Menurutnya, acara seperti ini sangatlah penting. Banyak hal yang dapat disampaikan ke seluruh sekolah, khususnya di Provinsi Jawa Barat mengenai informasi-informasi yang di dapat melalui kegiatan sosialisasi ini. Mudah-mudahan ke depan kegiatan pembinaan kesiswaan dapat ditingkatkan lagi di semua jenjang dan sekolah baik negeri maupun swasta. Tidak hanya terbatas pada sekolah-sekolah yang bisa dijangkau saja melainkan juga hingga ke pelosok-pelosok daerah.

Syarif Hidayat menambahkan, kegiatan-kegiatan kesiswaan sudah berjalan cukup aktif di provinsi Jawa Barat. Mulai dari kabupaten/kota sampai provinsi, sudah melakukan pola-pola pembinaan terstruktur bagi siswa-siswi yang akan mengikuti lomba. Oleh karenanya, pelajar Jawa Barat banyak yang sudah mengukir prestasi dalam ajang olimpiade sains baik di tingkat nasional maupun internasional. Sama halnya pembinaan yang kita lakukan dalam bidang olahraga dan seni. “Untuk persiapan tahun 2009 nanti, kami akan mencoba melakukan seleksi yang lebih baik dan lebih terorganisir mulai dari tingkat sekolah hingga provinsi, khususnya untuk tiga ajang kompetisi ini (OSN, O2SN, FLS2N),” ujarnya.

Para siswa peserta kegiatan sosialisasi pembinaan kesiswaan mengaku banyak memetik manfaat dari kegiatan yang hanya berlangsung satu hari itu. Hal tersebut diungkapkan saat diwawancarai oleh tim potensi. “Banyak informasi yang saya dapat dari acara ini, seperti kegiatan-kegiatan kesiswaan yang sebelumnya tidak saya ketahui. Kegiatan seperti ini harus sering-sering diadakan, karena dapat meningkatkan kreativitas siswa menjadi lebih baik lagi, khususnya bagi pengurus-pengurus OSIS.” Ujar Wedy, siswa SMAN 5 Cirebon.

Menurut Meita, siswi SMAN 1 Sumedang, waktu yang dibutuhkan siswa untuk lebih memahami tentang informasi-informasi pembinaan kesiswaan masih sangat kurang, tidak cukup hanya satu hari. Selain itu menurut Fadhil Irawan, siswa SMAN 1 Sukaresmi Cianjur, informasi yang disampaikan juga harus lebih merata, tidak hanya ke sekolah-sekolah yang mudah di jangkau saja, tetapi juga sampai ke sekolah-sekolah di pelosok Jawa Barat.

“Informasi yang disampaikan haruslah dari nara sumber yang berkompeten di bidangnya. Kalau perlu siswa-siswa yang sudah sukses berprestasi sampai ke tingkat internasional juga dihadirkan untuk sharing dengan kita mengenai kiat-kiat mereka menjadi juara. Ini dapat membangun motivasi siswa agar lebih giat lagi belajar,” tambah Aditya siswa asal SMAN 2 Tasikmalaya.

Kepala Bidang Pendidikan Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan Kota Bandung, Dedy Dharmawan S.Pd pada kesempatan yang sama mengatakan, pembinaan dan pengembangan generasi muda saat ini harus diarahkan untuk mempersiapkan kader penerus perjuangan bangsa dan pembangunan nasional. Pengarahan tersebut dapat dilakukan dengan memberikan bekal keterampilan, kepemimpinan, kesegaran jasmani, daya kreasi, patriotisme, idelaisme, kepribadian dan budi pekerti luhur. Oleh karena itu pembangunan wadah pembinaan generasi muda di lingkungan sekolah yang diterapkan melalui Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) perlu ditata secara terarah dan teratur, agar tidak tercampur dengan kegiatan-kegiatan yang diserap dari dunia luar yang dapat membawa dampak negatif bagi siswa.

Pembinaan kesiswaan terarah adalah pembinaan yang berdasarkan pada nilai-nilai moral dan etika yang dapat melahirkan sikap disiplin dan bertanggungjawab dalam diri siswa, seperti pramuka, palang merah remaja, paskibra, dan sebagainya. Sudah seharusnya pembinaan kesiswaan yang mengarah pada prilaku menyimpang mulai ditelaah kembali keberadaannya, seperti band, cheersleader, dan sejenisnya. “Pernah kejadian di salah satu sekolah di Kota Bandung ini, seorang siswi yang sedang melakukan aksi chears-nya mengalami kecelakaan, dan ini terjadi di depan kepala sekolahnya sendiri. Nah, hal-hal seperti itu kan menjadi naif akhirnya. Untuk itu, saya terus berusaha untuk mentradisi pembinaan kesiswaan yang mengarah pada perwujudan moral dan etika siswa menjadi lebih baik.” Ungkap Dedy.

Prof. Dr. M. Ansjar
“Pentingnya Peranan Guru Dalam Menumbuhkan Minat Meneliti”


Dalam penyajian Lomba Penelitian Ilmiah Remaja LPIR kepada para siswa, Prof. Dr. M. Ansjar menyampaikan bahwa tujuan diadakannya Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) antara lain adalah untuk menumbuhkan dan memupuk sikap keilmuan di kalangan para remaja, sehingga diharapkan kelak para remaja akan menjadi generasi penerus bangsa yang cerdas baik secara ilmu maupun attitude (sikap). Seseorang yang memiliki sikap keilmuan selalu memberi perhatian, memiliki rasa ingin tahu, selalu bertanya dan mempertanyakan tentang hal-hal yang ingin diketahuinya, serta gigih mencari informasi tentang sesuatu hal. ”Nah, untuk menjadi seperti ini tentunya siswa tidak melakukannya sendiri. Ada guru yang mendampingi dan memotivasi siswa tersebut menjadi siswa yang cerdas secara ilmu maupun sikap,” ujar Prof. Dr. M. Ansjar.

Bantuan guru sangat diharapkan dalam membina dan membimbing siswa melakukan penelitian ilmiah. Usaha guru menumbuhkan minat meneliti dalam diri siswa sangat dibutuhkan untuk membudayakan penelitian di kalangan remaja. Mengajar bukan hanya sekedar memberikan informasi kepada siswa, melainkan membuat dan membantu agar siswa itu mau belajar. Sering-seringlah memberikan apresiasi terhadap siswa. “Kalaupun ada yang salah, jangan langsung dipatahkan. Akui saja yang dilakukannya sudah bagus, hanya saja belum sempurna, dan tugas guru untuk membantu siswa tersebut menuju proses kesempurnaannya. Biarkan siswa berekspresi sesuai kata hatinya dalam melakukan penelitian. Jangan paksakan siswa seperti apa yang kita mau,” ungkap Prof. Dr. M. Ansjar.

Siswa juga dituntut lebih aktif bertanya dan mencari informasi-informasi dari sumber-sumber yang lain. Tidak hanya menunggu perhatian dan motivasi dari guru saja. Dengan adanya lomba LPIR ini, tim juri sangat mengharapkan agar siswa lebih berani dalam mengungkapkan isi penelitiannya secara spontan dengan bahasa yang baik dan susunan yang teratur. Dalam merumuskan dan meluruskan suatu masalah, siswa harus melakukannya dengan cara-cara yang lazim dilakukan dalam ilmu pengetahuan, seperti melalui pengamatan, eksperimen, studi pustaka, dan sebagainya. Ceritakan apa adanya dari apa yang diteliti, tanpa ada yang ditambah-tambah dan dibuat-buat. “Mudah-mudahan di tahun-tahun mendatang akan lebih banyak lagi bibit-bibit muda berbakat yang tertarik menjadi peneliti.” Ujar Prof. M. Ansjar. (rinda)

Sosialisasi Pembinaan Kesiswaan Provinsi Bali
Berjalan Tertib dan Lancar

Bertempat di gedung pertemuan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bali (30/10) Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional mengadakan sosialisasi program pembinaan kesiswaan 2008. Sosialisasi ini berkaitan erat dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 34 Tahun 2006 tentang pembinaan prestasi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan serta bakat istimewa. Tujuan dari sosialisasi ini adalah menjaring data dan masukan mengenai pembinaan kesiswaan pada tingkat Sekolah Menengah Atas. Adapun maksud dari kegiatan adalah menjaring informasi yang diperlukan dari berbagai responden yang terdiri dari guru pembina kesiswaan, dan pengurus OSIS di setiap provinsi.

Kegiatan yang juga mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan dan Program Pembinaan Kesiswaan yang diluncurkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas ini, terdiri dari dua aspek, yaitu, aspek keterlaksanaan sosialisasi program pembinaan kesiswaan, dan aspek pelaksanaan sosialisasi. Setiap responden yang mengikuti kegiatan ini diberikan kuesionar yang harus diisi secara jujur dan penuh tanggung jawab.

Kuisioner yang diberikan hanya dijawab dengan Ya dan Tidak. Pada kuisioner tersebut pertanyaan diberikan seputar kegiatan kesiswaan yang berkaitan dengan pengembangan potensi siswa, kegiatan kesiswaan, kegiatan ekstrakurikuler dan kokurikuler, keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, budi pekerti luhur atau akhlak mulia, kepribadian unggul, wawasan kebangsaan, dan bela negara, prestasi akademik, seni, olahraga sesuai minat dan bakat, demokrasi, hak asasi manusia, pendidikan politik, lingkungan hidup, kepekaan kreativitas, ketrampilan dan wirausahaan, kualitas jasmani, kesehatan dan gizi berbasis sumber gizi, serta sastra dan budaya.
Presentasi sosialisasi yang berlangsung sejak pukul sembilan pagi hingga dua belas siang ini, disampaikan oleh Suharlan, SH, MM, Kasi Bakat dan Prestasi Direktorat Kesiswaan. Peserta sosialisasi terdiri dari guru, Kepala Sekolah, pejabat Dinas Pendidikan Provinsi Bali, dan siswa-siswi SMA dari kota Denpasar, Bali dan sekitarnya. (fanny)

Sumber : http://www.dikmenum.go.id/index.php?page=11&entr=242

IMPLEMENTASI PENGELOLAAN KESISWAAN

By Ahmad Abrar

Maret 7, 2009 8:19 am

Penelitian tentang pengelolaan kesiswaan ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana peran yang dimainkan oleh warga sekolah dalam melakukan pembinaan kesiswaan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pertimbangan untuk mengungkapkan realitas dan persepsi seluruh warga sekolah tentang pelaksanaan manajemen kesiswaan.


1. Pengertian Manajemen Pembinaan Kesiswaan

Siswa merupakan masukan mentah (raw input) dalam manjemen persekolahan. Ketercapaian tujuan pendidikan dimanifestasikan dalam perubahan pribadi siswa dengan segala aspeknya. Oleh karena itu, sebenarnya semua sumber dana dan daya pada akhirnya bermuara pada kepentingan siswa itu.[1]

Pada dasarnya siswa merupakan pusat utama dalam konsepsi persekolahan, dan kesiswaan itu sendiri juga menepati posisi strategis dalam administrasi pendidikan pada tingkat persekolahan. Apapun yang dilakukan sekolah, program apapun yang dirancang sekolah, ujung-ujungnya adalah untuk kepentingan siswa itu sendiri. Dan prestasi siswa akan menjadi ukuran keberhasilan program pendidikan di suatu sekolah.

Namun walaupun kedudukan siswa begitu penting dan strategisnya, buku-buku literature atau kajian-kajian tentang kesiswaan dalam konsep manajemen pendidikan itu sendiri tidak terlalu banyak dan sepertinya kurang mendapat perhatian lebih. Holmes & Wynne mengungkapkan :

Books and university courses on educational administration do not give much direct attention to students, whose education is the justification for the administrator’s existence. The explanation is that, supposedly, everything educational administrators do is for and about pupils, directly indirectly. Therefore, by the account, addressing them separately isolates only afew factors of importance to them. The problem with mainstream approaches is that discussion of organizational theory and principal/teacher relation provides little evidence or argument to the effect that a particular approach will benefit students. Students are central in our conception of the school.[2]


Mengingat bahwa siswa merupakan salah satu elemen penting dalam pendidikan dan merupakan sasaran utama dalam peningkatan kualitas pendidikan yang nantinya akn berkontribusi terhadap upaya peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat suatu bangsa melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia serta peningkatan derajat sosial masyarakat bangsa, maka siswa perlu dikelola, dimenej, diatur, ditata, dikembangkan dan diberdayakan agar dapat menjadi produk pendidikan yang bermutu, baik ketika siswa itu masih berada dalam lingkungan sekolah, maupun setelah berada dalam lingkungan masyarakat. Untuk itulah diperlukan adanya manajemen kesiswaan.





2. Ruang lingkup Aktivitas Manajemen Kesiswaan.

Sebagai salah satu bidang harapan manajemen pendidikan pada tingkat persekolahan, ruang lingkup aktifitas Manajemen kesiswaan juga mengacu kepada fungsi-fungsi manajemen secara umum. Dalam penelitian ini, fungsi-fungsi manajemen yang dimaksud mengacu kepada fungsi-fungsi manajemen sebagaimana yang diungkapkan oleh Engkoswara, yaitu meliputi fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.[1]

Sementara itu, Sutjipto & Mukti mengemukakan bahwa ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka manajemen pembinaan kesiswaan, yaitu : 1) penerimaan siswa, 2) pembinaan siswa, 3) promosi dan mutasi, dan 4) pemberhentian siswa dari sekolah.[2]

Dari kedua pendapat di atas, maka kita bisa mengambil sebuah alur aktifitas manajemen kesiswaan, yaitu:

a. Langkah pertama adalah perencanaan yang dilakukan untuk memperoleh atau menyusun program/rencana kerja.

b. Langkah kedua adalah pelaksanaan berupa implementasi dari program/rencana kerja yang telah ditetapkan dalam tahap perencanaan. Pelaksanaannya itu sendiri terdiri atas aktifitas-aktifitas ; penerimaan siswa (rekrutmen, seleksi, orientasi, penempatan dan pengelompokkan), pembinaan siswa (akademik dan non-akademik), evaluasi hasil (output) dan dampak (outcome).

c. Langkah ketiga adalah pengawasan yang dilakukan secara menyeluruh terhadap keseluruhan proses dan hasil pembinaan kesiswaan.

Langkah-langkah tersebut masing-masing akan dibahas secara lebih rinci berikut ini :

a. Perencanaan

Langkah awal dalam sebuah proses manajemen adalah melakukan proses perencanaan. Nanang Fatah mengartikan perencanan sebagai tindakan menetapkan terlebih dahulu apa yang akan dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, apa yang harus dikerjakan dan siapa yang mengerjakannya.[3] Perencanaan sering juga disebut jembatan yang menghubungkan kesenjangan atau jurang antara keadaan masa kini dan keadaan yang diharapkan terjadi pada masa yang akan datang.

Selanjutnya Nanang Fatah juga menyebutkan bahwa dalam setiap perencanaan selalu terdapat tiga kegiatan yang meskipun dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya dalam proses perencanaan. Ketiga kegiatan itu adalah (1) perumusan tujuan yang ingin dicapai; (2) pemilihan program untuk mencapai tujuan itu; (3) identifikasi dan pengerahan sumber yang jumlahnya selalu terbatas.

Masih berkaitan dengan pengertian perencanaan, Bateman & Snell mendefinsikan perencanaan sebagai berikut :

“Planning is the conscious, sistematic process of making decisions about goals and activities that an individual, group, work unit, or organization will pursue in the future.”[4]

Berdasarkan definisi tersebut, perencanaan diartikan sebagai usaha sadar berupa proses yang sistematik dalam membuat keputusan tentang aktifitas-aktifitas dan tujuan-tujuan yang akan dicapai oleh individu, kelompok, unit kerja, atau organisasi pada masa yang akan datang.

Berkaitan dengan perencanaan, Bateman & Snell menyebutkan bahwa karena perencanaan adalah sebuah proses pengambilan keputusan, maka perencanaan harus dilakukan melalui proses tertentu.[5] Proses perencanaan oleh Bateman & Snell dibagi dalam enam tahapan, yaitu :

Langkah pertama adalah analisis keadaan (situational analysis). Pada tahap ini, seorang perencana mengumpulkan, menginterpretasikan, dan menyimpulkan semua informasi yang relevan dengan isu-isu perencanaan yang dipertanyakan.

Langkah kedua adalah menetapkan alternatif tujuan dan rencana (alternative goals and plans). Pada langkah ini, berdasarkan analisis keadaan yang telah dirumuskan, proses perencanaan harus membuat alternatif-alternatif umum dari tujuan-tujuan yang hendak dicapai dan rencana-rencana kerja yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Langkah ketiga adalah mengevaluasi tujuan dan rencana (goal an plan evaluation). Pada langkah ini, pengambil keputusan harus mengevaluasi keuntungan, kerugian, dan dampak-dampak yang mungkin timbul dari setuap alternatif tujuan dan rencana yang ada.

Langkah keempat adalah memilih tujuan dan rencana (goal and plan selection). Pada langkah ini, seorang perencana berada dalam posisi untuk memilih alternatif tujuan dan rencana yang paling memungkinkan bisa mencapai harapan yang diinginkan.

Langkah kelima adalah mengimplementasikannya (implementation). Pada langkah ini, rencana-rencana kerja dengan tujuan-tujuan yang telah dipilih harus dilaksanakan.

Langkah keenam adalah memonitor dan mengontrol pelaksanaan ( monitor and control). Sebagai langkah terakhir, semua aktifitas implementasi dari rencana dan tujuan yang telah ditetapkan harus dimonitor dan dikontrol secara ketat supaya tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan yang bisa berakibat tidak tercapainya harapan yang dituju.[6]


Indikatator Efektifitas Manajemen kesiswaan pada Jenjang SMA

Secara legalitas formal, pemerintah telah menetapkan standar kompetensi siswa dan indikator pencapaian keberhasilannya bagi siswa pada tingkat SMA sebagai standar yang harus dijadikan rujukan sekolah/lembaga/dinas terkait dalam penyelenggraan pendidikan pada jenjang SMA. Berdasarkan Standar Kompetensi Siswa yang ditetapkan pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 053/U/2001 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah, siswa SMA diharapkan memiliki:

1. Akhlak dan budi pekerti yang luhur

2. Pengetahuan dan keterampilan dasar yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku

3. Kesehatan dan kebugaran, apresiasi seni, dan dasar-dasar olah raga yang sesuai bakat dan minatnya

4. Kemampuan melanjutkan pendidikan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi

Standar kompetensi tersebut kemudian diukur berdasarkan indikator keberhasilan (lembaga/sekolah) sebagai berikut :

1. Angka Pendaftaran Siswa mengalami peningkatan

2. Angka Putus Sekolah (APS) mengalami penurunan

3. Angka Mengulang (AMK) mengalami penurunan

4. Kelangsungan belajar siswa mengalami peningkatan

5. Prosentase kelulusan mencapai 90%

Mengacu kepada berbagai pandangan tentang efektivitas manajemen pembinaan kesiswaan, maka peneliti menetapkan indicator-indikator yang merupakan hasil kolaborasi dari berbagai pandangan tersebut untuk dijadikan ukuran efektivitas Manajemen kesiswaan pada jenjang SMA. Indikator-indikator tersebut terbagi ke dalam indikator efektivitas perencanaan, indikator efektivitas pelaksanaan, dan indikator efektivitas pengawasan.

1. Indikator Efektivitas Perencanaan :

Mengacu kepada berbagai pandangan tentang efektivitas manajemen pembinaan kesiswaan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka perencanaan pembinaan kesiswaan yang efektif ditandai dengan indikator-indikator sebagai berikut :

a) keterlibatan para personil yang berkompeten dalam penyusunan rencana

b) Proses penyusunan rencana sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan

c) Penyusunan rencana kerja tidak menggunakan biaya terlalu banyak (sesuai anggaran)

d) Pemanfaatan sarana dan prasarana yang ada dapat memenuhi kebutuhan proses penyusunan rencana.

e) Penyusunan perencanaan memenuhi unsur-unsur dan langkah-langkah proses penyusunan perencanaan

f) Proses penyusunan perencanaan menghasilkan visi, misi, dan tujuan pembinaan kesiswaan yang jelas

g) Proses penyusunan perencanaan menghasilkan program/rencana kegiatan siswa yang jelas, terarah dan terstruktur

h) Proses penyusunan perencanaan menghasilkan struktur organisasi dan mekanisme pembagian tugas yang jelas dalam pembinaan kesiswaan

i) Proses penyusunan perencanaan menghasilkan program/rencana kegiatan siswa yang mencakup seluruh domain siswa

j) Proses penyusunan perencanaan menghasilkan standard dan target prestasi siswa yang diharapkan

2. Indikator Efektivitas Pelaksanaan :

Mengacu berbagai pandangan tentang efektivitas Manajemen kesiswaan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka pelaksanaan pembinaan kesiswaan yang efektif ditandai dengan indikator-indikator sebagai berikut :

a) Realisasi kegiatan sesuai dengan program kerja

b) Realisasi kegiatan memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku

c) Realisasi kegiatan bersifat terbuka dan dapat diketahui oleh masyarakat

d) Realisasi kegiatan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat

e) Realisasi kegiatan bersifat tidak diskriminatif

f) Penggunaan sumber daya dan biaya dapat mencapai tujuan

g) Adanya keterlibatan guru dan orang tua siswa terhadap kemajuan prestasi siswa

h) Adanya pendelegasian dan pembagian tugas serta tanggung jawab yang jelas dan tegas dari kepala sekolah kepada pembantunya

i) Adanya konsistensi dan kesepahaman antara para guru/ pembina/pelatih kegiatan siswa dalam merealisasikan program-program kegiatan sekolah

j) Adanya suasana belajar yang kondusif bagi para siswa untuk aktif terlibat

k) Adanya komunikasi yang aktif antara guru/Pembina/ pelatih kegiatan siswa dengan siswa

l) Adanya peraturan sekolah yang jelas, konsekuensi yang jelas, dan penerapan secara seragam

m) Realisasi kegiatan menghasilkan peningkatan prestasi siswa

n) Adanya penghargaan terhadap prestasi siswa

o) Adanya dokumen tentang kemajuan siswa dalam seluruh domainnya

p) Hasil dari realisasi kegiatan dapat diketahui oleh seluruh pihak yang berkompeten

q) Hasil kegiatan berdampak pada peningkatan Angka Pendaftaran Siswa

r) Hasil kegiatan berdampak pada menurunnya Angka Putus Sekolah (APS)

s) Hasil kegiatan berdampak pada menurunnya Angka Mengulang (AMK)

t) Hasil kegiatan berdampak pada meningkatnya kelangsungan belajar siswa


3. Indikator Efektivitas Pengawasan

Mengacu kepada berbagai kegiatan tentang efektivitas Manajemen kesiswaan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka pengawasan pembinaan kesiswaan yang efektif ditandai dengan indikator-indikator sebagai berikut :

a) Adanya standar pengukuran prestasi

b) Relevansi pelaksanaan pengawasan program kerja

c) Penggunaan sumber daya dan biaya dapat mencapai tujuan

d) Pengawasan mengacu kepada tindakan perbaikan

e) Pengawasan diarahkan pada penemuan fakta-fakta tentang bagaiman tugas-tugas dijalankan

f) Pengawasan yang dilakukan bersifat fleksibel preventif

g) Sistem pengawasan dapat dipakai oleh orang-orang yang terlibat dalam pengawasan

h) Pelaksanaan pengawasan mempermudah tercapainya tujua-tujuan

i) Tercapai target

j) Ditindaklanjuti




[1] Engkoswara. Dasar-dasar Administrasi Pendidikan. (Jakarta : Dirjen Dikti, Depdikbud, 1987) h. 26

[2] Basori Sutjipto & Mukti, Administrasi Pendidikan. h. 48

[3] Nanang Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan. h. 49

[4] Bateman & Snell, Management Computing in The New Era. (New York : The McGraw-Hill. 2002) h. 112

[5] Bateman & Snell, Management Computing in The New Era. h. 112-113

[6] Bateman & Snell, Management Computing in The New Era. h. 112-113


[1] Basori Sutjipto & Mukti, Administrasi Pendidikan. (Jakarta : Depdikbud. 1992) h. 47

[2] Holmes & Wynne, Making the School an Effective Community, h. 145

Sumber : http://pintania.wordpress.com/2009/03/07/implementasi-pengelolaan-kesiswaan/

STRATEGY ACTIVE LEARNING

mukhlis F, Selasa, 2009 April 21




C. TEKNIK MEMBUAT SISWA AKTIF BELAJAR
Proses pembelajaran yang terjadi selama ini siswa menerima materi dari guru tanpa analisis kritis dari siswa, sehingga guru merupakan pusat informasi dengan segala interpretasinya sendiri. Guru menerima informasi pertama dari sumber bahan ajar, kemudian disampaikan kepada murid, sehingga murid menerima informa kedua yang bersumber dari guru. Hal ini menyebabkan siswa pasif, kurang informatif, salah interpretatif kerana mendapat informasi sumber kedua, bukan sumber pertama.
Setelah mendapat informasi dari sumber kedua, murid tidak diberi kesempatan untuk menganalisis secara kritis materi yang disampaikan guru. Padahal, murid adalah sosok manusia yang mempunyai potensi unggul yang dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran. Potensi kritis yang dimiliki oleh siswa menjadi tidak berkembang, sehingga mengakibatkan perkembangan kemampuan daya pikir siswa juga tidak berkembang.
Cara pertama untuk membuat siswa aktif belajar adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk mendapatkan sumber informasi pertama. Siswa dibimbing dan diarahkan kepada sumber belajar pertama, seperti fenomena sosial, buku, majalah, surat kabar, jurnal, hasil penelitian dan sebagainya. Semua sumber informasi pertama disajikan kepada siswa, sehingga siswa akan melakukan beberapa hal, sepereti :
a. Membaca, memahami dan mengerti informasi dengan cermat
b. Mengidentifikasi maslah
c. Memecahkan masalah
d. Mengambul kesimpulan
e. Melaksanakan kesimpulan
Siswa akan merasa dihargai, dihormati dan diperhatikan oleh guru, sehingga dalam dirinya timbul dan tumbuh kepercayaan untuk memecahkan beberapa persoalan. Sifat problem solving menurut siswa akan membangkitkan motivasi dan semangat siswa untuk mbelajar aktif. Apabila pemecahan masalah selalu diberikan oleh guru, siswa menjadi pasif, kurang bergairah belajar dan mendorong siswa menjadi pendengar pasif.
Cara kedua untuk membuat siswa aktif belajar adalah dengan mengajak berpikir kritis. Guru menyajikan materi dengan analisis guru, akan berbeda dengan dengan siswa yang menerima informasi dengan berpikir kritisnya siswa. Ketika siswa diberi kesempatan untuk mengkritisi materi pelajaran, siswa akan melakukan beberapa hal, antara lain :
a. Mengidentifikasi masalah dengan pertanyaan kritis
b. Membuat kunci pokok untuk membuat hipotesis
c. Menyusun data dan fakta
d. Menguji validitas hipotesis dengan cara berpikir kritis.
Dengan melakukan hal seperti diatas, siswa akan mendapat : 1) pengetahuan, yang mencakup : a) Pengetahuan fakta, yakni semua informasi dan data yang dapat diperiksa ketepatannya dan telah diterima secara umum kebenarannya. b) Pengetahuan secara konseptual, yakni ide umum dalam pikiran seseorang yang menggunakan tindakan yang menghasilkan nilai dan sifat umum. c) Pengetahuan generalisasi, yakni pernyataan umum atau teori yang menyatukan beberapa konsep dengan makna yang luas. 2) Ketrampilan akademis, yang meliputi : a) Ketrampilan akademis sederhama, seperti mengingat, menafsirkan, menerapkan, menganalisis, mensintesis dan menilai. b) Ketrampilan akademis penyelidikan sampai ketrampilan yang valid, seperti bertanya dan memahami masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, menafsirkan, merumuskan generalisasi dan membuat kesimpulan akhir. c) Ketrampilan akademis berpikir kritis sampai berpikir kreatif . 3) Sikap dan nilai yang baik, dan 4) Ketrampilan sosial, mencakup a) Tingkah laku dalam pergaulan, baik resmi maupun tidak resmi b) Ketrampilan dalam mengorganisasi secara cerdas, teliti dan sopan.

D. METODE ACTIVE LEARNING
Dalam praktek proses pembelajaran, teknik belajar aktif diatas, tidak serta merta dapat dilakukan oleh guru dan siswa. Ada dua hal yang dapat dilakukan Guru
Pertama menggunakan pendekatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran yang biasa dipergunakan antara lain :
a. Pendekatan rasional, yaitu suatu pendekatan dalam proses belajar mengajar yang lebih menekankan pada aspek berpikir, baik berpikir induktif maupun deduktif.
b. Pendekatan emosional, yaitu upaya menggugah perasaan (emosi) siswa dalam menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa
c. Pendekatan pengalaman, yaitu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktekkan dan merasakan hasil hasil pengalaman belajar dalam menghadapi kehidupan sehatri hari
d. Pendekatan pembiasaan, yaitu memberikan kesempatan kepada siswa untuk membiasakan sikap dan perilaku, baik yang sesuai dengan dengan ajaran agama maupun yang sesuai dengan budaya bangsa dalam menghadapi persoalan hidup
e. Pendekatan fungsional, yaitu menyajikan materi pokok dari segi manfaatnya bagi siswa dalam kehidupan sehari hari
f. Pendekatan keteladanan, yaitu menjadikan fihur guru sebagai cermin bagi siswa, sehingga guru adalah figur yang dapat di gugu dan ditiru.

Kedua, memilih dan menentukan suatu metode untuk mendorong siswa aktif belajar. Banyak metode yang biasa dilaksanakan dalam proses belajar mengajar selama ini, seperti :
g. Metode Ceramah
h. Metode Diskusi
i. Metode Tanya Jawab
j. Metode Resitasi
k. Metode Karyawisata
l. Metode Demonstrasi
m. Metode Eksperimen, dan sebagainya

Pengalaman penggunaan metode diatas selama ini telah membuat sistem proses pembelajaran menjadi kaku dan hasilnya kurang memuaskan. Hal ini terbukti dengan adanya kualitas pembelajaran dan mutu pendidikan selalu dipertanyakan, bahkan dinilai mutu pendidikan sangat rendah. Sudah barang tentu penyebab satu-satunya bukan penggunaan metode pembelajaran saja, melainkan banyak faktor. Tetapi salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, kreatif dan dinamis, diantaranya menggunakan metode pembelajaran aktif.
Dalam strategi active learning, tidak ada metode yang paling benar, tetapi yang ada adalah metode yang palingh tepat dan cocok. Hal ini memerlukan ketrampilan guru untuk dapat memilih dan menentukan metode yang akan dipergunakan. Anjuran bagi guru dalam memilih strategi belajar aktif adalah :
a. Untuk mempraktekkan satu strategi, pilihlah materi yang betul betul sesuai
b. Jangan mempraktekkan strategi terlalu banyak kepada murid
c. Jika memerlukan modifikasi, jangan segan segan untuk melakukannya
d. Dalam satu kali pertemuan, 45 X 2 misalnya, bisa memodifikasi beberapa strategi.
Prinsip umum dalam menggunakan suatu strateri adalah :
a. strategi yang dipergunakan harus dapat membangkitkan motivasi, minat dan gairah belajar siswa
b. Strategi yang dipergunakan harus dapat menjamin perkembangan kegiatan bekajar siswa
c. Strategi mengajar yang dipergunakan harus dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk mewujudkan hasiul karya
d. Strategi yang dipergunakan harus dapat merangsang keinginan siswa untuk belajar lebih lanjut, melakukan eksplorasi dan inovasi (pembaharuan)
e. Strategi mengajar yang dipergunakan harus dapat mendidik murid dalam teknik belajar sendiri dan cara memperoleh pengetahuan melalui usaha pribadi
f. Strategi mengajar yang dipergunakan harus dapat meniadakan penyajian yang bersifat verbalitas dan menggantinya dengan pengalaman atau situasi yang nyata dan bertujuan
g. Strategi mengajar yang dipergunakan harusa dapat menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai dan sikap utama yang diharapkan dalam kebiasaan cara bekerja yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Metode pembelajaran active learning yang dikembangkan dewasa ini banyak ragamnya. Dalam makalah ini akan ditampilkan beberapa metode yang dianggap sangat cocok dan tepat untuk dipraktekkan dalam pembelajaran di MTs dan MA.

a Listening Teams (Tim Pendengar)
Metode ini salah satu cara untuk membantu siswa agar tetap terfokus dan selalu siap selama proses pembelajaran berlangsung. Metode ini memberikan kesempatan kelas dibagi menjadi kelompok kelompok kecil yang bertanggungjawab menjelaskan materi pelajaran. Listening teams dibantu guru dengan metode ceramah. Langkah lestening teamas adalah sebagai berikut :
1. Kelas dibagi menjadi empat kelompok dan setiap kelompok mendapatkan tugas sebagai berikut :
a. kelompok I : bertugas merumuskan pertanyaan berdasarkan materi yang baru saja disampaikan guru
b. kelompok II : bertugas mendukung materi yang baru saja disampaikan guru dengan alasan alasan logis
c. kelompok III : bertugas menentang materi yang baru saja disampaikan oleh gvuru dengan alasan logis
d. kelompok IV : bertugas memberi contoh/aplikasi materi.
2. Guru menyampaikan materi pelajaran dengan ceramah. Setelah selesei, beri kesempatan kepada setiap kelompok untuk menyeleseikan tugasnya masing masing
3. Guru meminta masing masing kelompok untuk menyampaikan hail dari tugas mereka
4. Guru memberi klarifikasi secukupnya.

b. Active Debate (Debat Aktif)
Debat bisa menjadi satu metode berharga untuk mengembangkan pemikiran dan refleksi, khususnya jika para siswa diharapkan dapat mempertahankan pendapat yang bertentangan dengan keyakinan mereka sendiri. Debat aktif adalah strategi yang secara aktif melibatkan semua siswa dalam kelas. Langkah langkah debat aktif aalah :
1. Guru mengembangkan materi pelajaran dengan suatu pernyataan yang berkaitan dengan isu kontroversial.
2. Kelas dibagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama sebagai kelompok pendukung (pro) dan kelompok kedua sebagai kelompok penentang (kontra)
3. Selanjutnya, guru membagi kelompok pendukung (pro) menjadi sub sub kelompok. Begitu pula dengan kelompok penentang (kontra). Misalnya dalam satu kelas ada 40 siswa, kelompok pro dibagi menjadi 4 sub sub kelompok yang terdiri dari 5 siswa dan kelompok kontra menjaji 4 sub sub kelompok dan setiap sub kelompok terdiri dari 5 siswa.
4. Setiap sub sub kelompok diminta untuk mengembangkan argumentasi sesuai dengan tugas kelompoknya. Setiap sub sub kelompok menyiapkan juru bicara.
5. Siapkan kursi sesuai dengan jumlah sub sub kelompok pro dan sub sub kelompok kontra. Siswa yang lain duduk dibelakang kelompoknya masing masing untuk memberi dan membantu juru bicaranya. Kursi dapat diatur berhadap hadapan :
Kelompok pro : X X : kelompok kontra
X X
X X
6. Debat dimulai dengan setiap juru bicara mempresentasikan pandangan mereka. Ini disebut argumentasi pembuka
7. Setelah setiap sub sub kelompok telah mendengar argumentasi pembuka, guru meminta debat dihentikan dan setiap sub sub kelompok bergabung dengan kelompoknya masing masing untuk mempersiapkan strategi untuk mengkounter lawannya.
8. Guru dapat meminta untuk melanjutkan debat. Juru bicara yang saling berhadapan diminta untuk memberikan argumentasi penentang. Ketika debat berlangsung, peserta yang lain didorong untuk mencatat berbagai usulan atau bantahan.. Siswa diperbolehkan bertepok tangan atau bersorak sorai untuk mendukung juru bicaranya masing masing.
9. Pada saat yang tepat, akhiri debat. Tidak perlu menentukan kelompok mana yang menang dan mana yang kalah. Buatlah kelas dalam posisi kursi melingkar. Secara bersama siswa diminta untuk memberikan argumentasi tentang debat yang baru saja dilaksanakan.
10. Terakhir, guru memberikan usalan tentang materi yang baru saja diperdebatkan.

c. Point-Counterpoint
Metode merupakan sebuah cara untuk merangsang diskusi dan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai isu kontemporer. Strategi ini mirip debat, hanya dikemas dalam suasana yang tidak terlalu formal. Strategi ini membutuhkan materi pelajaran yang bersifat interpretatif. Contoh :
" Tentang guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Guru adalah soko negara yang membangun negara melalui pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Tugas guru sangat berat untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa yang cerdas, trampil dan berakhlak mulia. Sementara imbalan yang diterima guru tidak/belum memadai. Hidup guru dengan gaji yang diterima cukup untuk hidup pas pasan, hidup sederhana dan bersahaja. Jasa guru yang besar dengan imbalan jasa yang sangat kecil menimnulkan kesenjangan kesejahteraan masyarakat".
Dalam contoh diatas, terdapat tiga interpretatif :
1. Kelompok Guru
2. Kelompok Pemerintah
3. Kelompok PGRI
Langkah strategi point-counterpoint adalah :
1. Siswa dibagi menjadi tiga kelompok, sesuai dengan interpretatis fdiatas
2. Guru meminta masing masing kelompok untuk mempersiapkan argumentasi sesua dengan pandangan kelompok yang diwakili
3. Tempat duduk setiap kelompok dipisahkan
4. Setiap kelompopk mempersiapkan juru bicara untuk mengemukakan argumentasinya.
5. Guru meminta debat dengan kelompok mana yang mau memulai debat lebih dulu
6. Setelah juru bicara mengemukakan argumentasinya, kelompok yang lain diminta untuk mengoreksi atau membantah argumentasi kelompok lain
7. Debat diakhiri setelah masing masing kelompopk mengemukakan srgumentasinya.
8. Terakhir, furu memberikan ulasan tentang argumentasi tersebuit.

d. Jigsaw Learning (Belajar Model Jigsaw)
Strategi ini sangat menarik untuk dipergunakan jika materi yang akan diberikan dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan materi tersebut tidak mengharuskan urutan penyampaian. Kelebihan strategi ini adalah dapat melibatkan seluruh siswa dalam belajar dan sekaligus mengajarkan kepada orang lain. Langkah Jigsaw Learning adalah :
1. Pilihlah materi pelajaran yang dapat dibagi menjadi beberapa bagian
2. Bagilah siswa menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah bagian materi pelajaran yang ada. Jika jumlah bagian materi pelajaran ada 5 bagian dan jumlah siswa dalam kelas ada 40, maka kelas dapat dibagi menjadi 5 dasn setiap kelompok terdiri dari 8 siswa.
3. Setiap kelompok mendapat tugas membaca dan memahami materi pelajaran yang berbeda beda.
4. Selanjutnya, setiap kelompok ,memilih wakil untuk dikirim kepada kelompok lain untuk menyampaikan apa yang telah mereka pelajari di kelompok. Pengiriman wakil kelompok dapat diatur seperti :

Kelompok : I
Kelompok : II
Kelompok : III
Kelompok : IV
Kelompok : V


5. Kembalikan suasana kelas seperti semula, kemudian guru menanyakan apakah ada persoalan yang belum terpecahkan. Jika adala masalah yang belum terpecahkan, guru membantu memberi saran dan solusi.
6. Guru mengecek pemahaman siswa dengan beberapa pertanyaan.

e. Everyone is a Teacher Here (Setiap Orang Adalah Guru)
Stratgi ini sangat tepat untuk mendapatkan partisipasi kelas secara keseluruhan dan secara individu. Strategi ini memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk berperan sebagai guru bagi temannya sendiri. Dengan strategi ini siswa yang selama ini tidak mau terlibat diskusi atau terlibat aktif kelas, akan ikut serta dalam pembelajaran secara aktif. Langkah langkah strategi everyone is e teacher here adalah :
1. Bagikan secarik kertas/kartu indeks kepada seluruh siswa. Setiap siswa diminta untuk menuliskan satu pertanyaan tentang materi pelajaran yang sedang dipelajari di kelas.
2. Guru bisa menyiapkan materi pelajaran dengan reding books,
3. Kumpulkan kertas pertanyaan tersebut secara acak dan bagikan kembali kepada siswa. Pastikan siswa tidak mendapat kertas pertanyaan yang ditulisnya sendiri. Guru meminta seluruh siswa untuk membaca dalam hati pertanyaan tersebut, kemudian memikirkan jawabannya.
4. Guru meminta siswa secara sukarela untuk membacakan pertanyaan tersebut dan menjawabnya
5. Setelah pertanyaan dibawa dan dijawab, mintalah siswa yang lain untuk menambah jawaban.
6. Lanjutkan dengan siswa yang lain sampai jam pelajaran berakhir.

GURU-GURU INDONESIA KINI SAATNYA BERWAWASAN GLOBAL

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian KESISWAAN / STUDENTS & LEARNING.
Nama & E-mail (Penulis): UMI MAIMANAH,S.Pd
Saya Guru di Kab.Pacitan Tawa Timur
Topik: PENTINGNYA PENGUASAAN TERHADAP TEKNOLOGI INFORMASI
Tanggal: 11 Mei 2008

OLEH: UMI MAIMANAH,S.Pd

Melalui forum ini Penulis termotivasi untuk menampilkan kembali Artikel dengan Tema tersebut diatas yaitu Pentingnya Penguasaan Tehnologi Infornasi Dan Komunikasi.Penulis sempat menulis cuplikan artikel tersebut pada Webb KTI Guru On-Line yang diselenggarakan oleh Direktur Profesi Pendidik dan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan ( PMPTK )

Pada intinya guru sebagai pelaku Pendidikan hendaknya mempunyai kesadaran yang tinggi akan kompetensi dirinya dalam peningkatan sumber daya manusia dan tentunya kualitas pendidikan secara umum.Sehubungan dengan tuntutan jaman, pendidikan juga dihadapkan pada masalah baik yang bersifat lokal,nasional bahkan internasional.

Menyadari akan keadaan yang seperti itu tidaklah timbul dalam nurani seorang guru untuk lebih memiliki wawasan yang luas demi menjawab segala permasalahan tersebut.Untuk itu marilah kita sebagai guru harus bangkit dan merubah paradigma kita, ternyata dunia pendidikan di Indonesia ini sudah berkompetisi pada tahap yang GLOBALISASI.

Dengan situasi yang demikian ini sebagi guru kita harus mengembangkan cara pembelajaran kita untuk mengedepankan pendekatan materi yang bersumber pada tehnologi informasi dan komunikasi yang ada.

Penggunaan internet sebagai alat dan sumber materi pembelajaran hendaknya selalu menyertai kita sebagai guru dalam kegiatan Pembelajaran. Tetapi tentunya untuk menguasai internet harus mahir dulu dalam hal penguasaan operasional komputer paling tidak bisa menguasai program Microsoft Word.

Ternyata dengan berwawasan global ini Penulis mendapatkan banyak pengalaman yang sangat bermanfaat sekali baik demi peningkatan kompetensi sebagai guru dan tentunya akan memberikan imbas pada peningkatan Pembelajaran di Kelas dan secara Umum bagi Peningkatan Kualitas Pendidikan di Indonesia ini.

Selain itu guru-guru harus perlu meningkatkan kompetensi terhadap penguasaan Bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional, karena banyak materi pelajaran yang ditulis dengan bahasa Inggris misalnya: mencari Lesson Plan ( Rencana Pembelajaran ) hanpir semua ditulis dengan menggunakan Bahasa Inggris.

Namun kita tidak usah pesimistis selama ada niat dan usaha pasti Tuhan akan menolong kita dan memberikan jalan keluar dengan beberapa kemudahan-kemudahan. Bukanlah dalam kesulitan teredapat kemudahan.Setelah kesulitan akan ada kemudahan ( Q.S. Alam Nasyrah ayat: 5-6 ).

UN antara keberhasilan & mutu

Published on April 22, 2009 by viktus
IBNU HAJAR DAMANIK
Penulis adalah adalah Guru Besar & PD I FIP Unimed dan Dosen Pascasarjana Unimed.
Meski telah berjalan beberapa tahun, namun tetap saja pelaksanaan UN menjadi kontroversi bahkan polemik yang seakan tak berkesudahan. Prokontra pelaksanaan UN di tengah masyarakat dengan argumen dan pendapat yang sangat bervariasi menimbulkan kesan betapa carut-marut dunia pendidikan kita tidak hanya dipersoalkan sejak dari hulu tapi juga sampai ke hilir, mulai dari perencanaan orientasi dan arah pendidikan, proses penyelenggaraan pendidikan, dan akhirnya evaluasi yang sebetulnya dapat digunakan untuk perbaikan (feed back dan follow up) pun tetap dipersoalkan.
Hal itu tentu baik jika niatnya untuk mendorong perubahan dunia pendidikan ke arah yang lebih baik, lebih berkualitas guna mengangkat martabat bangsa lebih tinggi di kancah regional bahkan internasional. Namun kondisi prokontra seperti itu sangat-sangat memprihatinkan karena kita telah menghabiskan banyak energi namun hanya berkutat di seputaran persoalan yang sebenarnya tak perlu dipersoalkan. Mengapa dikatakan demikian? Oleh karena masih banyak hal penting di bidang pendidikan yang memerlukan pemikiran banyak pihak dalam menentukan arah dan warna pendidikan dikaitkan dengan tuntutan menghasilkan lulusan yang mampu berperan dalam perkembangan lokal, nasional, regional, dan bahkan internasional.
Silang pendapat tentang UN yang sudah berlangsung beberapa tahun mencapai titik nadir ketika 58 anggota masyarakat yang mewakili murid, orang tua murid, guru, dan para pemerhati pendidikan mengajukan gugatan dan sebagian besar dikabulkan majelis hakim. Dalam amar putusannya majelis hakim menyatakan bahwa para tergugat yang dalam hal ini pemerintah (Presiden, Wapres, Mendiknas, Ketua BSNP) telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warganya yang menjadi korban UN, khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak anak (Education Forum, 2007).
Menurut hemat penulis, dari kasus di atas sesungguhnya terdapat perbedaan cara pandang mengenai hak atas pendidikan, hak anak, dan pelaksanaan UN. Bukankah berbagai kebijakan pemerintah tentang penyelenggaraan pendidikan meski terkesan agak lamban sesungguhnya menunjukkan tanggungjawab pemerintah akan pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara? Bukankah pemerintah berkepentingan bahkan wajib mengetahui arah pencapaian program pendidikan bagi warganya dilihat dari sisi kualitas layanan dan kualitas lulusan? Lalu apa yang mesti dipersoalkan dengan UN yang merupakan bagian dari pelaksanaan UU Nomor 20 tahun 2003 pasal 57 ayat 1 yang menyatakan ‘Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan’. Jika dianggap ada yang menjadi ‘korban’ dari pelaksanaan UN, bukankah itu merupakan proses alamiah dari yang namanya proses evaluasi, harus ada yang kalah dan menang? Lalu apa makna pelaksanaan evaluasi jika tidak mampu menentukan ada peserta yang menang dan yang kalah?
Atas dasar pandangan di atas, dapat dinyatakan bahwa persoalan sesungguhnya bukanlah pada baik-buruk, benar-salah dari pelaksanaan UN, namun sejauhmana kesiapan sekolah untuk mengikuti program UN yang sesungguhnya merupakan bagian dari rutinitas tugas dan tanggungjawabnya sebagai institusi penyelenggara pendidikan formal bagi anak-anak.
Pernak-pernik pelaksanaan UN
Sepanjang yang penulis ketahui, sejak Ujian Nasional diberlakukan, secara bertubi-tubi kritikan terus-menerus melayang ke pemerintah. Ragam kritik itu mulai dari menyatakan pemerintah ‘tidak sensitif terhadap permasalahan’, sampai ke ‘pemerintah melanggar HAM’ bahkan sampai ada yang menggugat ke pengadilan seperti telah disinggung sebelumnya. Beragam kritikan yang nadanya kurang konstruktif itu, misalnya pernah diulas Hermansaksono (2006) bahwa ada siswa yang memprotes kenapa belajar 3 tahun ditentukan 3 jam?. Ada juga yang protes kenapa kelulusan ditentukan hanya dengan 3 mata pelajaran. Mestinya kritikan-kritkan yang demikian itu menjadi bahan renungan bersama, kalau ujian 3 mata pelajaran saja tidak lulus, kalau ditambah lagi jumlah mata pelajarannya jangan-jangan semakin banyak yang tidak lulus.
Penyelenggaraan UN kerap menampilkan sejumlah kekhawatiran serta ekses yang beraneka ragam. Peristiwa gantung diri siswa SMKN 3 Padangsidimpuan tahun lalu Polita boru Sihite (19 tahun) ada yang mengaitkannya dengan dan merupakan ekses UN. Namun menurut Ketua Dewan Pendidikan Sumut Prof. Manullang (dalam Seputar Indonesia, 14 Mei 2008) bahwa hal itu hanya kasus dan bukan ekses dari UN oleh karena jika hal itu merupakan ekses UN maka akan banyak siswa yang gantung diri.
Lain lagi pengalaman tragis yang dialami oleh siswi SMA di Klaten. Gara-gara takut tak lulus UN, siswi SMA di Klaten ini termakan bujuk rayu seorang dukun. Bukan kemudahan ujian yang didapat, melainkan ia harus kehilangan kehormatannya, airmata yang diteteskan gadis manis ini bukan cuma perkara tak bisa mengerjakan soal UN dan ketakutan tak bakal lulus UN, tapi ternyata tertipu daya telah terenggut mahkotanya hanya karena ingin mendapat ‘resep jitu’ lulus UN dari sang dukun (Wasono M., 2008).
Carut-marut pelaksanaan UN sungguh membuat miris. Mulai dari kekhawatiran para siswa yang berlebihan, praktek penipuan, jual beli soal ujian, hingga teror lewat SMS. Tak sedikit orangtua murid yang terkecoh iming-iming bocoran soal dan jawaban UN harus rela kehilangan uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Bahkan pengalaman pahit peristiwa Lubuk Pakam, Deli Serdang sebanyak 16 guru SMAN melakonkan perilaku menyimpang secara berjamaah atau kolektif berujung pada menjadi tersangka pelaku kecurangan UN. Dengan dalih khawatir anak didiknya tak lulus UN, mereka membetulkan jawaban soal ujian para siswa tersebut. Mereka dan kepala sekolah harus menjalani pemeriksaan polisi dan berstatus tersangka telah melanggar Pasal 263 KUHP (perihal pemalsuan surat) dengan ancaman hukuman paling lama 6 tahun penjara.
Akan tetapi sepertinya bukan rahasia umum, praktik kecurangan UN di Sumut tak cuma terjadi di SMAN 2 Lubuk Pakam. Kecurangan juga terjadi di enam daerah lain di 24 SMA sederajat, yaitu di Medan, Humbang Hasundutan, Pematang Siantar, Simalungun, Toba Samosir, dan Binjai. Kecurangan di enam daerah itu menurut versi laporan Komunitas Air Mata Guru (KAMG), bahwa praktik kecurangan terbukti direncanakan demi nama baik sekolah dan daerah. Yang mengherankan, proses hukum bagi para pelaku kecurangan UN terkesan tak benar-benar ditegakkan sehingga kasus yang serupa sering terulang.
Dalam upaya menjadikan dunia pendidikan bermartabat, nilai kejujuran perlu ditegakkan. Secara jujur harus dikatakan guru adalah komponen utama yang memompa dan mengisikan seperangkat kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai roh keberhasilan pada diri siswa. Hal itu dimaksudkan agar siswa menjadi manusia yang berkualitas melalui proses pembelajaran yang dilaksanakan di kelas. Namun momentum pelaksanaan UN telah menggeser peran mulia itu menjadi peran ‘perusak’ kepribadian dan watak siswa serta ‘penggembos’ mutu pendidikan. Kepribadian siswa tampil menjadi orang yang tidak jujur, tidak percaya pada diri dan kemampuan sendiri. Peran semu yang dilakukan guru dan sekolah untuk mengamankan masa ujian yang hanya beberapa hari, namun merontokkan sendi-sendi bangunan kepribadian yang sudah dirintis dengan susah payah selama tiga tahun hanya untuk membela nama baik sekolah dan daerah. Manakala hal itu dilakukan secara bersaman, maka sesungguhnya disitu sudah berlangsung pembohongan publik. Mengapa?, oleh karena fakta hasil ujian menunjukkan nilai UN yang diperoleh anak sangat menggembirakan atau nilai yang tinggi namun bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya yakni anak-anak yang memperoleh nilai tinggi tersebut sesungguhna termasuk katagori bodoh-bodoh.
Tantangan meningkatkan kualitas lulusan
Semangat untuk meningkatkan mutu lulusan sekaligus mutu pendidikan sebagaimana yang ditegaskan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 merupakan tuntutan untuk mewujudkan lulusan yang berkualitas. Hal itu juga merupakan pemenuhan standar nasional pendidikan sebagaimana tertuang dalam UU Sisdiknas pasal 35 ayat 1. Oleh karenanya PP Nomor 19 Tahun 2005 yang di dalamnya diatur tentang standar kompetensi lulusan harus dijadikan acuan standar yang ingin dituju atau dicapai melalui proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah.
Pelaksanaan UN harus diakui bukan satu-satunya solusi untuk perbaikan kualitas pendidikan dan pancapaian standar kompetensi lulusan. Penyelenggaraan UN telah menimbulkan beragam pandangan dan penafsiran bahwa UN telah mengkerdilkan arti pendidikan sebagai tes dan mengubah makna proses pendidikan menjadi sekedar persiapan untuk lulus tes semata. Kedudukan dan fungsi UN seharusnya bukan untuk menentukan kelulusan melainkan sebagai pemetaan kualitas yang kemudian dijadikan salah satu landasan untuk memperbaiki pelayanan pendidikan oleh pemerintah. Jika UN dijadikan instrumen untuk menentukan lulus dan tidak lulus, maka UN harus memenuhi prinsip fairness yakni harus diberikan kepada mereka yang telah memiliki pengalaman belajar yang sama. Jika suatu tes yang sama diberikan kepada peserta tes yang memiliki pengalaman belajar yang berbeda dalam kualitas, maka prinsip fairness telah dilanggar. Disini UN telah dianggap melanggar prinsip ini karena UN harus diikuti oleh mereka yang memiliki pengalaman belajar dengan kualitas yang berbeda.
Terlepas dari ada atau tidaknya atau terlanggar atau tidaknya prinsip fairness, maka esensi UN sesungguhnya mencakup hal-hal yang universal tentang penyelenggaraan pendidikan di negara kita. UN merupakan muara dari mata rantai proses ujian yang secara berkesinambungan telah dilaksanakan di sekolah oleh guru. Guru adalah orang yang paling mengetahui tentang apa yang sudah dipelajari dan yang belum dipelajari peserta didik.Guru memberikan tes atau ujian untuk mengukur pencapaian siswa atas sejumlah materi atau bahan ajar yang telah disampaikan secara runtut berdasarkan ketentuan materi yang telah ditetapkan dalam kurikulum yakni standar kompetensi dan kompetensi dasar (SK dan KD). Jika diasumsikan bahwa guru telah melaksanakan perannya secara benar yakni menyampaikan bahan ajar yang diarahkan pada pencapaian SK dan KD pada bidang studi yang diajarkan, maka guru telah menempatkan siswa pada jalur yang benar dan sesuai untuk berhasil dalam mengikuti seluruh mata rantai ujian termasuk yang terakhir dalam UN.
Pertanyaan yang dapat diajukan adalah ‘bukankah UN disusun berdasarkan cakupan materi dalam kurikulum dengan perangkat SK dan KD yang sama diajarkan guru di sekolah? Oleh karenanya UN bukanlah benda siluman yang tiba-tiba muncul dari jagad raya lain lalu untuk mengukur dan menilai sesuatu di luar lingkup kegiatan pembelajaran di sekolah. UN dilahirkan dan disusun secara ‘membumi’ berdasarkan cakupan standar yang dituangkan di dalam kurikulum. Patut diherankan jika ada sementara kalangan guru atau ahli pendidikan menyatakan bahwa UN bagaikan barang aneh yang tidak sesuai untuk digunakan sebagai standar mutu sekaligus menentukan kelulusan siswa. Sekali lagi perlu dipahami bahwa UN adalah muara dari sejumlah mata rantau ‘UN-UN kecil’ yang dilaksanakan di sekolah di tiap-tiap wilayah kabupaten/kota. Oleh karenanya yang justru perlu dipertanyakan adalah apakah sekolah-sekolah yang ada tiap-tiap kabupaten/kota telah secara benar mengimplementasikan SK dan KD dalam pembelajaran? Apakah sekolah-sekolah yang ada tiap-tiap kabupaten/kota telah secara benar pula melaksanakan ujian (baca: UN kecil) untuk mengukur pencapaian SK dan KD pada diri siswa sebagai ukuran kualitas proses layanan pembelajaran yang diberikan di masing-masing sekolah?
Satu hal yang perlu ditegaskan adalah, melalui penyelenggaraan UN pemerintah memiliki kepentingan untuk mengetahui kualitas penyelenggaraan pendidikan. Setidaknya menurut Hermansaksono (2006) ada dua rantai dalam meningkatkan kualitas pendidikan, pertama: meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan itu sendiri, dan yang kedua: adalah mengevaluasi output dari hasil pendidikan secara nasional, antara lain dengan UN. Meningkatkan kualitas layanan pendidikan adalah tanggungjawab pemerintah termasuk terutama pemerintah kabupaten/kota. Jika terjadi disparitas atau ketimpangan dalam hal mutu pendidikan antardaerah, maka kesalahan itu tidak seluruhnya mesti dibebankan kepada pemerintah pusat, melainkan juga tanggungjawab pemkab dan pemko tidak bisa dilepaskan. Hal itu karena secara berjenjang kebijakan yang telah digariskan oleh pemerintah melalui seperangkat undang-undang dan peraturan seharusnya diimplementasikan oleh pemkab dan pemko secara benar dan konsisten di lapangan. Adalah tanggungjawab pemkab dan pemko untuk menjamin bahwa pelayanan pendidikan di sekolah-sekolah yang ada di wilayahnya telah diselenggarakan secara tepat arah dan bermutu. Pemkab dan pemko harus memastikan bahwa guru-guru yang ada di sekolah benar-benar mempunyai kompetensi untuk mengajarkan materi ajar sesuai tuntutan kurikulum.
Problema umum yang dipahami banyak kalangan adalah penyelenggaraan pendidikan di sekolah antara satu daerah dengan daerah lain belum sama. Masih ada bahkan jika boleh dikatakan masih banyak sekolah yang diselenggarakan dan dikelola dengan pola manajemen sederhana, penyusunan program sekolah seadanya, kelengkapan buku ajar atau buku teks dan bahan praktik yang seadanya, serta tingkat unjuk kerja guru dalam melaksanakan pembelajaran yang juga seadanya. Sebagian besar guru masih berpikir bagaimana sekedar menyelesaikan tugas dan mencapai target kurikulum, namun belum mengubah paradigma atau cara pandang bahwa yang utama dalam melaksanakan tugas bukan sekedar mencapai target kurikulum tapi bagaimana merancang strategi pembelajaran yang mendorong serta mengaktifkan siswa untuk menguasai perangkat materi sesuai yang digariskan dalam SK dan KD. Disinilah pentingnya peran pemkab dan pemko untuk merancang pola pembinaan dan pengembangan sekolah yang ada di wilayahnya dengan menetapkan strategi dan sasaran jangka pendek dan jangka panjang untuk mewujudkan layanan pendidikan yang bermutu dan tentunya menghasilkan lulusan yang bermutu pula.
Harus diakui terdapat banyak kendala yang harus ditangani dalam upaya penyelenggaraan pendidikan bermutu. Persoalan dana merupakan masalah klasik yang dianggap sebagai biang kesulitan semua ini. Akan tetapi bukankah pemerintah tetap terus berupaya mengalokasikan sejumlah besar dana dari berbagai sumber yang ada. Dalam pemaparanannya pada acara Musrenbang Provinsi Sumut tahun 2008 di Medan, Mendiknas menyatakan mengenai pendanaan massal pendidikan di Indonesia khusus program BOS, bahwa pemerintah pusat menganggarkan Rp 12.3 triliun setiap tahunnya untuk disalurkan ke seluruh wilayah Indonesia. Angka ini tergolong sangat memadai untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan di sekolah-sekolah seluruh wilayah kabupaten/kota. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah optimalisasi penggunaan dana BOS secara tepat arah untuk peningkatan mutu sekolah dan lulusan. Sejalan dengan komitmen pemerintah pusat untuk meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah kabupaten/kota ditantang untuk lebih kreatif merencanakan peningkatan mutu pendidikan di wilayahnya. Pemkab dan pemko mestinya sudah sangat mengenal dan memahami persoalan pelayanan pendidikan di wilayahnya, sehingga perlu dikembangkan strategi yang komprehensif untuk menata peningkatan mutu layanan pendidikan di sekolah.
Kembali pada persoalan pelaksanaan UN, jika kualitas layanan pendidikan sudah diupayakan untuk meningkat, tapi tidak dievaluasi secara nasional, lalu dari mana pemerintah tahu kalau kualitas pendidikan sudah lebih baik. Kalau sudah dievaluasi, dan siswa-siswa yang kualitasnya di bawah standar tetap diluluskan, berarti pemerintah melakukan kebohongan publik. Ada pula yang menawarkan ide agar standar lulusnya diturunkan? Apakah jika standar lulus diturunkan bukan justru menggambarkan kualitas akademik pelajar Indonesia semakin rendah. Ada lagi yang menggagaskan agar standar kelulusan dikembalikan pada otonomi guru dan sekolah secara lokal yang dikaitkan dengan semangat otonomi daerah. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah apa ukuran baku mutu lulusan yang digunakan antardaerah? Apakah sama baku mutu lulusan yang digunakan di Jakarta, Medan, atau Merauke, atau mungkin di Sipiongot? Bisakah kita maknai secara sama bahwa baku mutu nilai 8 yang diperoleh siswa di Medan sama dengan mutu siswa yang menerima nilai 8 di Sipiongot? Apakah kira-kira semangat untuk jujur di kalangan guru antardaerah sudah sama manakala memberikan penilaian kelulusan siswa diserahkan kepada sekolah/guru masing-masing? Jika pola seperti ini disepakati maka akan mungkin terjadi bahwa siswa (si Fulan) yang mendapat nilai 8 bisa jadi orang pintar di wilayah kab./kota A tapi belum tentu di provinsi wilayah kab./kota B. Bukankah seharusnya kepintaran adalah sesuatu yang universal? Di sinilah sesungguhnya nilai esensil pentingnya UN dilaksanakan secara nasional.
UN: menguji komitmen dan wibawa Guru
Penyelenggaraan UN telah menyingkap sejumlah ketimpangan, kecurangan yang seakan merupakan borok yang berlangsung di sekolah. Sudah bukan rahasia umum bahwa telah terjadi ketidakpatutan ketika berlangsung UN dengan berbagai bentuk. Beberapa bentuk modus operandi ketidakpatutan itu antara lain: Pertama, setelah LJK terkumpul semua, maka dilakukan pengecekan. Dengan alasan pengecekan ‘tim sukses’ sekolah memperbaiki beberapa LJK siswa berdasarkan jawaban guru dari tim sukses. Kedua, dengan memberikan kode-kode khusus kepada siswa yg sedang mengerjakan soal ujian. Hal ini kadang-kadang didukung oleh pengawas ujian yang ternyata kebanyakan tidak perduli melihat tim sukses sedang bergerilya. Bisa jadi karena jamuan/suguhan serta janji tambahan uang saku untuk sang pengawas. Ketiga, modus lain adalah pemarkupan secara berjamaah di level panitia tingkat kabupaten/kota. Dalam hal ini yg berkepentingan adalah lembaga Dinas Pendidikan, dan juga kepanitiaan yg notabene adalah juga para kepala sekolah.
Wacana tentang modus operandi di atas bukan merupakan hasil penelitian penulis namun dirujuk dari berbagai sumber yang ditelusuri. Hal yang terpenting bukanlah akurat atau tidaknya informasi itu, namun kenyataan yang dapat diamati bahwa perolehan siswa dari hasil UN yang diikutinya belum sepenuhnya menggambarkan kondisi ril kemampuan siswa. Dilihat dari segi kelembagaan sekolah, bahwa semakin tinggi angka persentase kelulusan di sekolah tersebut belum menjadi jaminan bahwa siswa-siswa yang lulus dari sekolah itu memiliki kompetensi atau mutu yang tinggi pula. Ada contoh kasus siswa SD yang nilai kelulusan UNnya rata-rata 9 namun mengalami kesulitan ketika mengikuti pelajaran di tingkat SMP. Hal itu tentu merupakan sesuatu yang paradoks dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Cara-cara yang ditempuh untuk mendongkrak perolehan nilai siswa menunjukkan terjadinya pembohongan hasil ujian. Kepatuhan guru serta ‘tim sukses’ baik di sekolah maupun di jenjang yang lebih tinggi untuk melakukan penyimpangan berjamaah jelas adalah kepatuhan yang hanya mementing kesenangan pimpinan saja tanpa sedikitpun adanya rasa idealisme sebagai pendidik. Kepatuhan yang demikian hanya ingin menaikkan pamor lembaga sekolah atau Dinas Pendidikan agar melambung ke atas, namun sesungguhnya keropos di bawah.
UN juga merupakan batu ujian wibawa dan komitmen guru. Jika guru memegang teguh komitmennya sebagai guru, apapun hasil UN itu bukan semata urusan dan tanggunjawab mereka. Tanggungjawab mereka adalah memberi yang terbaik kepada siswa yakni proses pembelajaran bermutu di kelas, memberikan layanan dan bimbingan yang bermutu kepada siswanya. Memberi yang terbaik adalah mentransferkan seperangkat pengetahuan dan keterampilan sekaligus juga memberi keteladanan, terutama kejujuran. Jika guru membantu siswa menjawab UN dengan cara memberi kunci jawaban soal itu berarti ada yang salah dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan guru. Cara-cara seperti itu sekaligus akan menciptakan orang-orang yang tidak jujur, tak punya integritas kepribadian. Tindakan guru semacam itu mengajarkan siswa menghalalkan segala cara untuk memperoleh tujuan. Bagaimana mungkin siswa yang diluluskan dengan cara curang kelak menjadi manusia yang memiliki integritas untuk menjadi pemimpin masa depan? Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah membangun anak-anak yang tidak hanya memiliki kemampuan akademik tetapi juga memiliki integritas kepribadian dan rasa percaya diri sebagai bekal menghadapi persaingan yang lebih berat dan lebih luas di masa depan.
Penutup
Peningkatan mutu pendidikan dan mutu lulusan akan terjadi apabila semua komponen pelaksana pendidikan - Depdiknas pusat dan kabupaten/kota, sekolah, serta para guru-guru memiliki komitmen yang kuat dan teguh serta kejujuran untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai amanat UU Sisdiknas dan Standar Nasional Pendidikan. UN sebagai salah satu wujud dari implementasi UU Sisdiknas dan Standar Nasional Pendidikan selain membutuhkan komitmen yang kuat namun yang lebih penting adalah kejujuran seluruh aparat jajaran pelaksana pendidikan agar dunia pendidikan dapat menyumbang terwujudnya negeri yang adil dan makmur melalui insan profesional yang dididik dalam proses pendidikan yang berkualitas.
Dalam pelaksanaan UN jika guru-guru bersikap jujur dalam kondisi apapun, maka jika siswa tidak lulus karena komitmen kejujuran, hal itu menjadi pembelajaran bagi siswa dan guru. Siswa tidak lulus akan mengevaluasi diri untuk memperbaiki cara belajar. Bagi guru, hal itu menjadi masukan untuk memperbaiki cara mengajar dan memperbaiki sikap terhadap siswa. Selain itu, kejujuran melaksanakan UN akan menjadi masukan bagi kebijakan pemerintah termasuk pemkab/pemko untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan layanan pendidikan di sekolah yang ada di wilayahnya.
Membangun dan melaksanakan kejujuran memang sulit sebab akan menampilkan keadaan apa adanya. Membangun pendidikan tanpa kejujuran, apapun rumus jitu yang dipakai, jika data yang disampaikan tetap saja salah, maka hasilnya pasti salah. Rerata nasional hasil UN pasti salah, jika hasil yang dirata-ratakan ternyata hasil dari kecurangan. Jika negeri ini ingin keluar dari multi krisis, tidak ada alasan lain selain kita harus memabangun dengan komitmen kejujuran dalam kondisi apapun. Manakala komitmen untuk jujur tidak ada maka seolah-olah dunia pendidikan kita tidak terjadi apa-apa, padahal kondisi seperti itu akan menjadi celaka karena pendidikan kita telah menghasilkan masyarakat yang tidak jujur. (waspada)