Rabu, 22 April 2009

UN, Ada yang Perlu Didiskusikan

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Panitia ujian nasional membongkar soal untuk ujian nasional tingkat sekolah menengah pertama di SMP 2 Bandung, sebelum didistribusikan ke tingkat subrayon masing-masing SMP di Kota Bandung, Minggu (4/5). Hari Senin ini, pelaksanaan ujian nasional tingkat SMP serentak dilakukan di seluruh Indonesia.
Senin, 5 Mei 2008 | 00:49 WIB
Ester Lince Napitupulu

Penyelenggaraan ujian nasional dari tahun ke tahun tak pernah berhenti menuai kontroversi. Wacana yang mencuat pada pelaksanaan ujian nasional tahun ini berada di pusaran tuntutan untuk mengevaluasi ujian nasional seperti yang diperintahkan pengadilan tinggi dan ujian nasional sebagai ujian kejujuran semua pemangku kepentingan pendidikan.
Jauh hari sebelum pelaksanaan ujian nasional (UN), Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo gencar mewacanakan bahwa UN bukan sekadar menguji kompetensi siswa dan sekolah, namun yang justru terpenting apakah ada kejujuran selama pelaksanaannya. Pernyataan UN sebagai ujian kejujuran bagi semua pemangku kepentingan pendidikan itu bahkan ditindaklanjuti dengan ketegasan untuk memidanakan siapa saja yang berani menodai kredibilitas penyelenggaraan UN.
Ketika gong UN dimulai dengan pelaksanaan UN SMA sederajat pada 22-24 April lalu, ternyata tetap menuai masalah. Kecurangan terus terjadi dan itu semakin menegaskan bahwa peluang terbesarnya ada di sekolah, terutama oleh guru dan kepala sekolah yang seharusnya menjaga citra pendidikan.
Kenyataan ini semakin menguatkan tuntutan supaya ada evaluasi serius tentang pelaksanaan UN. Kecurangan yang dilakukan guru demi alasan apa pun sepakat dinyatakan menyalahi hukum. Tetapi, gugatan kemudian berkembang, kenapa pemerintah tak juga mau mengevaluasi penyelenggaraan UN yang setiap tahun selalu membuahkan persoalan yang tidak kondusif bagi kemajuan pendidikan itu?
Yang juga dipertanyakan adalah masalah ketidakpercayaan pemerintah yang begitu besar kepada guru dan sekolah. Seakan-akan buah pendidikan yang dinilai pemerintah belum memuaskan itu harus menjadi tanggung jawab pendidik.
Sementara itu, pembelajaran yang tercipta di sekolah-sekolah lebih pada menyiapkan siswa untuk mampu lolos dari UN. Padahal, pendidikan yang diharapkan itu yang mampu membuat siswa sungguh-sungguh memahami apa yang dipelajarinya sehingga berguna untuk kehidupan dan masa depannya kelak.
S Hamid Hasan, pakar evaluasi kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia, menjelaskan, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional membenarkan negara dan lembaga independen melakukan evaluasi pendidikan. Akan tetapi, evaluasi yang dimaksud adalah untuk menilai kualitas satuan pendidikan. Adapun untuk menilai hasil belajar siswa, termasuk menentukan lulus atau tidak, tetap merupakan wewenang guru dalam satuan pendidikan.
”Ujian nasional menetapkan keberhasilan orang atas dasar nilai yang diperoleh saat itu atau istilahnya single score. Ini bertentangan dengan prinsip evaluasi dan konstitusi pendidikan,” ujar Hamid.
Perlu dipaksa
Pada Hari Pendidikan Nasional kemarin, Bambang Sudibyo dengan gamblang menjelaskan pertimbangan pemerintah mempertahankan kebijakan UN. Penyelenggaraan UN dinilai mampu ”memaksa” siswa dan guru untuk disiplin belajar sehingga mampu mencapai standar kompetensi lulusan yang ditetapkan pemerintah demi mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia.
”Masyarakat kita itu perlu dipaksa dulu untuk mau belajar. Inilah mengapa UN itu mampu membuat semua pihak jadi sungguh-sungguh belajar. Jika semua sekolah sudah bagus mutunya, UN tidak diperlukan lagi,” kata Bambang.
Pemerintah, kata Bambang, sangat memahami terjadinya pro-kontra pelaksanaan UN. Kalangan yang menolak UN dinilai mungkin menganggap sekolah di Indonesia sudah cukup baik dan guru serta sekolah bisa mengukur kemampuan siswanya sendiri.
”Saya justru berkeyakinan, ujian nasional itu tetap perlu karena guru dan siswa kita masih perlu dipaksa untuk mau disiplin belajar,” kata Bambang.
Alasan lain UN dipertahankan, menurut Bambang, karena hasilnya mampu meningkatkan penilaian Indonesia di antara negara-negara internasional. Selain itu, dengan ketekunan belajar, tawuran di antara pelajar juga semakin berkurang.
Rata-rata capaian UN SMP dan SMA secara nasional terus meningkat. Pada tahun 2004 di tingkat SMP rata-rata 5,26 pada tahun lalu menjadi 7,02, sedangkan di SMA dari rata-rata 5,31 menjadi 7,14.
Penyelenggaraan UN diakui memang mampu membuat sekolah dan siswa belajar maksimal. Tetapi, belajar yang terjadi sering kali dalam bentuk drilling dan try out. Akibatnya, makna belajar sering kali tereduksi hanya untuk lolos dari ujian.
Inilah sisi lain yang perlu diperbaiki dari UN. Berbagai pihak mestinya duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini. eva

Teknik Evaluasi Non tes: Pengamatan
Dalam dunia pendidikan teknik nontes yang sering digunakan adalah pengamatan (observasi), dan terkadang, seorang guru juga menggunakan wawancara. Dalam penelitian-penelitian sosial, teknik nontes biasanya juga digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai keadaan obyek penelitian. Teknik nontes yang sering digunakan dalam penelitian-penelitian sosial penelitian adalah kuesioner.
Teknik pengamatan atau observasi merupakan salah satu bentuk teknik nontes yang biasa dipergunakan untuk menilai sesuatu melalui pengamatan terhadap objeknya secara langsung, seksama dan sistematis. Pengamatan memungkinkan untuk melihat dan mengamati sendiri kemudian mencatat perilaku dan kejadian yang terjadi pada keadaan sebenarnya.
Menurut Moleong (2005 : 176) pengamatan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengamatan berperanserta dan tidak berperanserta. Dalam pengamatan yang tidak berperanserta, seseorang hanya melakukan satu fungsi yaitu mengamati tetapi pada pengamatan berperanserta seseorang disamping mengamati juga menjadi anggota dari obyek yang diamati.


Pengamatan dapat pula dibagi atas pengamatan terbuka dan tertutup. Terbuka jika obyek yang diamati mengetahui bahwa mereka sedang diamati dan sebaliknya. Selain itu pengamatan juga dibagi pada latar alamiah (pengamatan tak terstruktur) dan latar buatan (pengamatan terstruktur). Pengamatan ini biasanya dapat dilakukan pada eksperimen. Dalam pengamatan berstruktur, kegiatan pengamatan itu telah diatur sebelumnya. Isi, maksud, objek yang diamati, kerangka kerja, dan lain-lain, telah ditetapkan sebelum kegiatan pengamatan dilaksanakan. Oleh karena itu, kegiatan pencatatan hanya dilakukan terhadap data-data yang sesuai dengan cakupan bidang kebutuhan seperti yang telah ditetapkan sejak semula. Lain halnya dengan pengamatan tak berstrukur, dalam melakukan pengamatannya, si pengamat tidak dibatasi oleh kerangka kerja yang telah dipersiapkan sebelumnya. Setiap data yang muncul yang dianggap relevan dengan tujuan pengamatannya langsung dicatat. Dengan demikian, data yang diperoleh lebih mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Perilaku siswa dalam keadaan seperti itu bersifat wajar, apa adanya dan tidak dibuat-buat.
Teknik pengamatan jika dilakukan untuk melihat apakah perbuatan siswa sudah benar atau tidak dapat dikategorikan sebagai teknik tes. Misalnya jika dalam praktek olahraga seorang guru akan melihat apakah cara melempar lembing seseorang sudah sesuai dengan teori atau tidak, maka pengamatan jenis ini terkategori sebagai teknik tes. Tetapi jika pengamatan dilakukan terhadap aspek afektif seperti cara seorang siswa bersikap terhadap guru, menjaga kebersihan, perhatian terhadap tugas-tugas sekolah dan sebagainya, maka teknik ini termasuk teknik nontes.


Diposkan oleh Djunaidi Lababa di 21:37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar