Selasa, 17 Maret 2009

DATA DIRI

ASALAMUALAIKUM,,,,,,
nama saya RIKE PURWANTI NINGSIH. saya anak pertama dari dua bersaudara. Dari kecil semua orang bilang saya pendiam,, tapi ya memeng kenyatannya begitu hihihi!!!!!!
saya lahir di solo tapi di akte kelahiran saya tertulis JAKARTA,02 FEBRUARI 1990.......
ITU terjadi gara-gara orang tua saya buru-buru bawa saya ke jakarta. Uya sebenarnya saya tidak tinggal di jakarta tapi di tangerang....... heheh aneh ya??????? Saya aja pusing???
dari sd sampai sekarang prestasi yang pernah saya dapat yaitu peringkat di kelas, em antara 1- 7. kalau kejuaraan lainnya belum pernah. Yang paling paling saya syukuri,bahwa saya selama ini menempuh pendidikan di sekolah negeri, ya walaupun nilai saya pas-pasan heheheh.

Senin, 16 Maret 2009

Menengok Sekolah Berstandar Internasional di Sragen

Menengok Sekolah Berstandar Internasional di Sragen

Rabu, 28 Mei 2008 | 12:16 WIB

Kabupaten Sragen menginjak usianya yang ke-262 tahun tepat tanggal 27 Mei 2008. Dengan usia demikian matang, kabupaten yang memosisikan diri sebagai smart regency ini rajin "menjual" potensi daerahnya. Salah satunya adalah sekolah berstandar internasional yang dirintis sejak dua tahun lalu, yakni di Kecamatan Gemolong dan Kecamatan Karangmalang.

Hingga kini, sudah ada dua angkatan yang bersekolah di jenjang taman kanak-kanak dan sekolah dasar (SD) di dua sekolah berstandar internasional (SBI) itu. Rencananya, mulai tahun ajaran ini di kompleks SBI Gemolong akan dibuka SBI di jenjang sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang bekerja sama dengan Pacific Countries Social and Economic Solidarity Association (Pasiad). Pasiad bertanggung jawab terhadap pendidikan, bimbingan, kurikulum, dan sistem manajemen sekolah.

"Kami ingin agar generasi muda Sragen mampu bersaing. Bahasa Inggris menjadi kunci pintu gerbang persaingan di era global," ujar Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sragen Gatot Supadi, Selasa (27/5).

SBI menekankan aspek pembelajaran melalui pengalaman dengan tujuan memberi modal kecakapan hidup (life skill) agar siswa mampu kreatif menghadapi hidupnya di masa depan. Misalnya, siswa diajak pergi melihat pembuatan tahu, menanam pohon, dan melihat pembuatan KTP di kecamatan.

SBI di Sragen memakai Kurikulum Nasional Plus X. "Maksudnya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, tetapi ditambah dengan pengembangan sesuai standar internasional," ucap Koordinator TK/SD SBI Kroyo, Karangmalang, K Mudo Triasmoro bersama Kepala SBI Kroyo Marjono.

Suasana SBI Kroyo yang berstatus sekolah negeri tidak jauh berbeda dengan sekolah negeri non-SBI. Hanya saja, siswa SBI boleh dibilang lebih "beruntung" karena menyediakan fasilitas lebih lengkap, antara lain ruang kelas multimedia, perpustakaan dengan koleksi buku berbahasa Inggris, dan ruang musik. (SRI REJEKI)

Peranti Lunak Lokal Tumbuh Berkembang

Peranti Lunak Lokal Tumbuh Berkembang
Kamis, 8 Januari 2009 | 18:52 WIB

BANDUNG, KAMIS — Industri peranti lunak lokal di Indonesia, khususnya Kota Bandung, terus tumbuh berkembang. Ini ditandai dengan makin bertambahnya perusahaan pembuat software (independent software vendor/ISV). Konten multimedia kreatif dan e-learning adalah ciri khas keunggulan software-software lokal.

Mengutip data dari International Data Corporation (IDC), pakar rekayasa software Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Romi Satria Wahono, Kamis (8/1), mengatakan, ISV di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 400 buah. Tahun 2006, jumlahnya 250. Sebanyak 50 di antaranya berasal dari Bandung. Jumlah tenaga ahli yang terlibat 72.000 orang.

Pendiri situs pembelajaran www.ilmukomputer.com ini mengatakan, keunggulan software yang dihasilkan ISV lokal ini terutama menyangkut konten-konten multimedia dan animasi yang biasa digunakan sebagai alat bantu pembelajaran ataupun e-learning. Ia mencontohkan software garapan Pesona Edukasi yang berhasil menembus pasar Amerika Serikat dan belahan dunia lainnya.

Ia memandang, kreator-kreator dan arsitek software lokal di Indonesia tidak bisa lagi sekadar mengandalkan produk custom atau berdasarkan proyek-proyek pesanan, baik dari swasta maupun pemerintah. Di lain pihak, peluang software generik, yaitu produk yang bersifat massal, rentan kalah bersaing dengan produsen-produsen ternama dari luar negeri yang lebih dahulu ada.

Tren ke depan yang bisa dikembangkan adalah jenis software at service (peranti lunak berbasis pelayanan berjaringan). Yang dijual itu bukan lagi sekadar produknya, tetapi lebih diarahkan ke pelayanannya. Misalnya, sistem pajak dan akuntansi, ujarnya. Salah satu produsen lokal yang telah mengembangkan software jenis ini adalah Andal. Saat ini, masih sedikit ISV yang berani bermain di sektor ini.

SAS (software at service) inilah yang tengah kami bidik. Ke depannya, software-software jenis inilah yang prospektif. Model yang proprietary (produk berbayar) akan ketinggalan. Sebab, teknologi ke depan itu berbasis kolaboratif, ujar Ardian Febri (25), Managing Director Saklik. Perusahaan bisnis online yang bertempat di Bandung ini kini tengah mengembangkan Medresa, yaitu sistem konten manajemen e-learning. Produk ini adalah satu dari lima pemenang lomba Start Up Bisnis Industri Kreatif Inkubator Industri dan Bisnis (IIB) Institut Teknologi Bandung. Namun, ucapnya, produk berbasis SAS ini sangat membutuhkan dukungan infrastruktur berupa jaringan internet yang sangat baik.

Serap tenaga kerja

Pengamat teknologi informasi dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB Budi Rahardjo saat dihubungi terpisah mengatakan, jumlah produsen software lokal maupun tenaga ahlinya masih terbilang minim. Idealnya, pada 2010, jumlahnya (produsen) itu sudah ribuan. Dalam kerangka BHTV (Bandung High Tech Valley), idealnya di 2010 itu ekspor software di Indonesia mencapai Rp 8 miliar, tuturnya.

Menurut penelitian IDC, dari estimasi tumbuhnya 1.100 perusahaan baru di tahun mendatan g, sektor kreatif ini bisa menyerap 81.000 tenaga kerja baru. Industri teknologi informasi ini pun akan menyumbangkan USD 1,1 miliar. Syaratnya, jika dikelola serius. Namun, kenyataannya, beberapa software house (ISV) di Bandung masih hidup - mati. Ada yang mati, muncul lagi yang lain, ucapnya.

Persoalan daya saing dan modal adalah kendala utamanya. Belum lagi, persoalan krisis finansial global. Dan, kecenderungan masih tingginya angka pembajakan software saat ini. License Compliance Manager PT Microsof t Indonesia Anti S Suryaman mengungkapkan, tingkat pembajakan di Indonesia saat ini mencapai 84 persen. Indonesia menempati posisi ke-12 besar pembajakan software di dunia.

Di sisi lain, Indonesia pun harus berlapang dada menyadari kondisi banyaknya tenaga ahli yang dibajak luar negeri. Ketua Kelompok Keahlian Rekayasa Software dan Data ITB Hira Laksmiwati Zoro mengatakan, lulusan berperstasi dari Teknik Informatika ITB banyak yang memilih bekerja di luar negeri. Produsen software di dalam negeri belum memberi peluang cukup menjanjikan untuk mereka.

Menyikapi Pesona Sekolah Unggulan

Menyikapi Pesona Sekolah Unggulan
Jumat, 2 Mei 2008 | 21:12 WIB

Oleh: Moh Muhibbin

Fenomena sekolah unggulan mulai bertebaran di tengah masyarakat mulai ibu kota kabupaten/kota hingga kecamatan. Sekolah-sekolah ini bertarif mahal dan dikampanyekan pengelolanya akan menjanjikan serta menjamin masa depan anak didik.

Salah satu selebaran yang diedarkan sekolah unggulan ini berbunyi "bergabunglah dengan sekolah yang tidak jual mimpi", "masukkan anak anda ke sekolah ini, jika ingin menjadi profesional", atau "saatnya orangtua tidak meninggalkan kader lemah di masa depan". Membaca selebaran-selebaran semacam itu, di satu sisi dapat ditangkap isyarat bahwa pengelola pendidikan rupanya semakin rajin meramu model sekolah yang dikalkulasi akan mampu merangsang dan menyedot konsumen sebanyak-banyaknya, khususnya konsumen pendidikan yang berasal dari kalangan orangtua atau keluarga berduit.

Berapa pun banyaknya uang yang dikeluarkan tidak akan menjadi perhitungan utama karena yang diutamakan adalah kepuasan. Pernyataan tersebut menunjukkan sekolah berlabel unggulan yang dijual sebagian pengelola pendidikan sebenarnya masih layak dipertanyakan kesejatian keunggulannya. Bukan tidak mungkin, apa yang distigmakan dalam kosakata "unggulan" terbatas pada strategi pemenuhan kebutuhan pasar elite yang menuntut pemuasan dari ambisi status sosialnya.

Tampaknya gejala sekolah unggulan yang dijual ke pasar orangtua atau keluarga berduit cenderung mengikuti dan mendikte konsumen yang berburu status sosial. Sekolah dibangun bukan mengikuti dasar-dasar moral-filosofi yang dibutuhkan anak didik untuk membentuk kepribadian sehingga menjadi pribadi unggul, namun lebih dominan mengikuti irama kepentingan pembenaran ambisi orangtuanya.

Ada kisah, misalnya, salah satu sekolah di Jatim yang telah mengemas dirinya menjadi sekolah unggulan dengan tema jual ke pasar sebagai sekolah unggulan. Dalam penawaran kepada orangtua murid, sistem pembelajaran di sekolah model ini dilaksanakan dengan sistem anak didik diwajibkan mengikuti rule of game yang digariskan sekolah hingga sore (pukul 17.00). Sayangnya, dalam beberapa hari, sekolah ini tidak menjalankan aturan main yang sudah dijual ke pasar.

Akibat wanprestasi ini, para orangtua murid memprotesnya. Alasannya, ini merugikan anak-anak dan mereka. Pasalnya, mereka menyekolahkan anak di sekolah model ini dengan pertimbangan adaptasi jam kerjanya sama dengan berakhirnya jam sekolah anak. Karena anak sering dipulangkan lebih awal, pihak sekolah telah merugikan jam kerjanya. Ini berarti, secara ekonomi, sekolah telah menghadirkan masalah dan bukan menyelesaikan masalah. Kasus tersebut menunjukkan ukuran unggulan yang dipakai sekolah maupun orangtua sebenarnya sudah tidak sama.

Dari pihak keluarga atau orangtua murid, sekolah unggulan diasumsikan sebagai lembaga pendidikan yang mampu menyelaraskan kepentingan anak didik dan kesibukan mereka.

Dalam kasus tersebut, di satu sisi model sekolah demikian barangkali akan menjadi obyek jual ke pasar yang mampu menyedot konsumen. Namun di sisi lain, pengelola pendidikan dan konsumen perlu diluruskan bahwa kesejatian pendidikan bukan pragmatisme, instanisme, otoritarianisme, atau menciptakan atmosfer edukatif yang "memenjara" anak, melainkan atmosfer yang menumbuhkan pencerdasan dan penceraham moral intelektual kepada anak didik.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran. Ini agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, serta negara.

Dalam dimensi yuridis tersebut ada kosakata "mengembangkan" potensi yang menggabungkan kognisi, afeksi, dan psikomotorik sehingga target pencapaian dalam setiap proses pembelajaran menekankan pada akumulasi nilai. Jika akumulasi nilai yang menjadi tolok ukur, standar keunggulan terletak pada kemampuan setiap penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan untuk mengantarkan anak didik menjadi manusia unggulan.

Makhluk dwidimensi

Ahli tafsir kenamaan, M Quraish Shihab (1992), juga menunjukkan substansi model pendidikan yang menekankan keunggulan manusia. Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan imaterial (akal serta jiwa). Pembinaan akal menghasilkan ilmu, pembinaan jiwa menghasilkan kesucian dan etika, serta pembinaan jasmani menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan dunia dan akhirat serta ilmu dan iman. Itulah sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah adab al-din dan adab al-dunya.

Dengan orientasi pendidikan itu, seharusnya atau idealnya model sekolah atau pendidikan unggulan bukan semata terletak pada keunggulan fasilitas, tetapi juga sistem demokratisasi edukasinya, yang dalam politik implementasinya mampu menumbuhkembangkan pribadi anak didik menjadi manusia istimewa secara kognisi, afeksi, dan psikomotorik.

Sekolah unggulan tidak terletak pada pesona kemampuan manajemen sekolah dalam mendulang keuntungan ekonomi berlaksa dari orangtua atau kelompok sosial elitisme, tetapi dari kemampuan menjembatani anak didik menjadi pribadi paripurna meski anak didik ini dari golongan akar rumput.

Ini artinya prinsip penyelenggaraan pendidikan (proses belajar- mengajar) yang bernapaskan egalitarian tidak bisa diabaikan, kecuali pengelolanya dari awal sudah menerapkan sistem pembenaran keunggulan dalam disparitas dan diskriminasi yang bertumpu pada kapitalisme pendidikan. "Apa yang distigmakan dalam kosakata "unggulan" terbatas pada strategi pemenuhan kebutuhan pasar elite yang menuntut pemuasan dari ambisi status sosialnya".

Moh Muhibbin Peneliti pada Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Budaya, Ekonomi, dan Politik (LP2BEP) Gresik

MAKALAH UPAYA GURU DALAM MELIBATKAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

MAKALAH UPAYA GURU DALAM MELIBATKAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

I.PENDAHULUAN
Sebagian besar siswa masih menganggap bahwa pelajaran matematika termasuk mata pelajarn yang kurang menarik dan kurang menyenangkan. Bahkan siswa-siswa di sekolah-sekolah yang berada di pelosok atau pinggiran masih banyak yang menganggap bahwa matematika itu adalah pelajaran yang sulit, memusingkan dan membosankan. Anggapan-anggapan yang “tidak simpatik” terhadap pelajaran matematika tersebut berdampak buruk terhadap pencapaian prestasi para siswa.
Selama asusmsi siswa terhadap pelajaran matematika masih negatif, sangat sulit bagi seorang guru untuk menuntaskan para siswanya dalam pembelajaran matematika sesuai Kriteria Ketuntasan Minimal ( KKM ) yang ditetapkan. Sebab apabila para siswa sudah mulai tidak menyukai pelajaran matematika, akan berakibat siswa menjadi malas berfikir yang diawali dengan malas berfikir dalam pelajaran matematika dan selanjutnya akan berdampak pada mata pelajaran lain yang memerlukan penalaran. Karena untuk semua jenjang pendidikan, materi pembelajaran matematika salah satunya adalah keterampilan penalaran, yang meliputi :
Memahami pengertian
Berfikir logis
Memahami contoh negatif
Berfikir deduksi
Berfikir induksi
Berfikir sistmatis dan konsisten
Menarik kesimpulan
Menentukan metode dan membuat alasan
Menentukan setrategi ( Ebbutt dan Straker, 195 )
Adanya para siswa menjadi tidak menyukai matematika ini salah satu penyebabnya adalah model pembelajaran yang diterapkan oleh sebagian guru matematika masih menerapkan model pembelajaran konvensional. Yaitu menggunakan metode ceramah, menulis, dan mencatat yang monoton, searah, dan kurang melibatkan siswa dalam kegiatan pembelajran. Komitmen terhadap pembelajarn yang melibatkan siswa secara aktif sifatnya hanya jangka pendek. Akibat bagi siswa tidak banyak yang diingat dan sangat sedikit yang diterapkan.
Belajar matematika memerlukan ketrlibatan mental dan kerja siwa. Ceramah dan pemeragaan semata tidak akan membuahkan hasil belajar yang langgeng. Guru dapat menceritakan berbagai materi dengan cepat namun siswa akan melupakan apa yang diceritakan oleh guru dengan lebih cepat.
Memang kelihatannya sekilas siswa tampak memahami apa yang disampaikan oleh guru, namun beberapa saat kemudian segala sesuatu yang dijelaskan oleh guru akan segera terlupakan. Hal ini terjadi karena siswa belum terlibat secara maksimal dalam kegiatan pembelajaran.
Agar siswa dapat aktif baik secara fisik maupun mental, siswa harus menggunakan otak, mengkaji gagasan, memecahkan masalah dan menerapkan ( Melvin. L. Silberman, 2006 ).
Jadi guru harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan memberikan siswa kesempatan untuk bergerak bebas ( moving about ) dan penuh gairah. Guru juga harus selalu memberikan motivasi agar siswa belajar dengan penuh semangat sehingga siswa mau berfikir keras ( thingking aloud ).
Di dalam belajar matematika siswa perlu mengerjakan, menggambarkan sesuatu dengan caranya sendiri, menunjukkan contohnya, mencoba mempraktikkan keterampilan dan mengerjakan tugas yang menuntut pengetahuan. Siswa bisa belajar dengan sangat baik dari pengalaman konkrit.
Sebagian guru matematika tidak melibatkan siswa dalam pembelajaran dengan alasan tertekan oleh terbatasnya waktu. Ada keyakinan pembelajaran dengan melibatkan siswa secara aktif akan menyita terlalu banyak waktu. Sebetulnya para guru matematika tidak menerapkan pembelajran yang melibatkan siswa secara aktif karena tidak adanya saran konkrit yang cukup memadai tentang cara menerapkannya di dalam kelas.
Mengingat tidak mudahnya penyelenggaraan pembelajaran matematika, maka guru matematika dituntut untuk terus mengembangkan usaha-usaha pembelajaran matematika yang melibatkan siswa, agar tujuan pembelajaran yang sudah direncanakan dapat tercapai.

II.PEMBAHASAN

1. Inovasi Pendidikan
Terdapat beberapa konsep inovasi pendidikan yang menarik dan layak untuk dikaji dan dikembangkan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Terdapat panca inovasi pendidikan yaitu :
1.Pendidikan Berbasis Masyarakat ( PBM )
2.Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah ( MPMBS )
3.Kurikulum Berbasis Kompetensi ( KBK ) yang sekarang dilanjutkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP )
4.Pendidikan Kecakapan Hidup ( PKH )
5.Pembelajaran Kontekstual ( PK ) ( Abdullah Syam, 2006)
Penekanannya terletak pada pentingnya kebutuhan siswa dan cara pemecahan masalah oleh siswa dengan menggunakan potensi yang ada di lingkungannya. Konsep kurikulum berbasis kompetensi mengembangkan paradigma learning for life and school work. Konsep tersebut dapat dijadikan dasar kegiatan pembelajaran sehingga terjadi pertautan/relevansi antara pembelajaran dengan kebutuhan nayata siswa.
Dalam KBK terdapat kompetensi dasar/kemampuan dasar yang harus dimiliki siswa pada tingkatan tertentu. Kemampuan dasar melukiskan apa yang harus diketahui oleh siswa dan dapat dilakukannya pada kelas atau tingkatan tertentu.
Kemampuan dasar adalah kemampuan pokok yang harus dicapai oleh peserta didik setelah mengikuti pendidikan pada kelas tertentu ( Sadiyo, 2001 )
KTSP menghendaki siswa tidak hanya memiliki aspek pengetahuan, tetapi juga kemampuan mengaplikasikan kompetensi/kemampuan itu dalam bentuk keterampilan, dan mengubah sikap kea rah yang positif.
Deskripsi kemampuan dasar merupakan satu kalimat yang mengandung skill dan materi dari masing-masing bahan ajar, meliputi : thingking, cognitive skill, social/emotional skill, motoric skill, dan moral skill ( Sadiyo, 2001 ). Kemampuan dasar pada masing-masing kelas harus mampu membedakannya denga kelas lain. Perbedaan terebut terjadi karena perbedaan skill ataupun perbedaan isinya.
Sistem pembelajaran berdasarkan kompetensi harus menekankan pembelajaran kecakapan dasar ( basic skill atau life skill ). Secara umu disebut pembelajaran 3C, yaitu Consience ( hati nurani ), Compassion ( kepedulian social ) dan Competence
( kecakapan ).

2. Syarat-syarat Guru Profesional
Guru yang professional perlu malakukan pembelajaran di kelas secara efektif. Menurut Gary A. Davis dan Margaret A. Thomas, ada empat cirri guru yang efektif, antara lain yaitu :
1.Memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di kelas.
Kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di kelas antara lain :
a.Memiliki kemampuan interpersonal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada siswa, dan ketulusan.
b.Memiliki hubungan baik dengan siswa.
c.Mampu menerima, mengakui, dan memeperhatikan siswa secara tulus.
d.Menunjukkan minat dan antusias yang tinggi dalam mengajar.
e.Mampu menciptakan atmosfir untuk tumbuhnya kerja sama dan kohesivitas dalam dan antar kelompok siswa.
f. Mampu melibatkan siswa dalam mengorganisasikan dan merencanakan
g.kegiatan pembelajaran.
h.Mampu mendengarkan siswa dan menghargai hak siswa untuk berbicara dalam diskusi.
i.Mampu meminimalkan friksi-friksi di kelas.
2.Memiliki kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen pembelajaran.
Kemampuan yang terkait dengan strategi pembelajaran antara lain :
a.Memiliki kemampuan menangani siswa yang tidak memiliki perhatian.
b.Mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan tingkatan berfikir yang berbeda untuk semua siswa.
3.Memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik ( feedback ) dan penguatan ( reinforcement ).
Kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik dan penguatan meliputi :
a.Mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon siswa.
b.Mampu memberikan umpan balik yang bersifat membantu siswa yang lamban belajar.
c.Mampu memberikan tindak lanjut terhadap jawaban siswa yang belum benar.
d.Mampu memberikan bimbingan kepada siswa yang memerlukan.
4.Memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri.
Kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri meliputi :
a.Mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif.
b.Mampu memperluas dan menambah pengetahuan mengenai metode-metode pembelajaran.
c.Mampu memanfaatkan perencanaan guru secara kelompok untuk menciptakan dan mengembangkan metode dan model pembelajaran yang relevan.
Sedangkan syarat guru professional yang harus dipenuhi sesuai undang-undang guru dan dosen no. 14 tahun 2005 antara lain :
1.Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah ( pasal 1.1 )
2.Profesi guru dilaksanakan berdasarkan prinsip : memiliki bakat, memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan ( pasal 7 : 1 )
3.Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudakn tujuan
pendidikan nasional ( pasal 8 )
4.Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan ( pasal 35;1 )

3. Pembelajaran Matematika
Lebih dari 2400 tahun silam, Konfusius menyatakan :
“ Yang saya dengar saya lupa “
“ Yang saya lihat saya ingat “
“ Yang saya kerjakan saya pahami “
Pernyataan Konfusius tersebut mengisaratkan kepada guru matematika agar dalam pembelajaran matematika tidak sekedar menceritakan dan menerangkan. Karena siswa tidak akan bisa memahami dengan baik materi-materi yang diceritakan dan diterangkan oleh guru. Untuk bisa belajar matematika dengan baik, siswa perlu mendengarkan, melihat, mengajukan pertanyaan, membahas dengan siswa lain, mengerjakan dengan caranya sendiri, menunjukkan contoh, mencoba, mempraktikkan, dan mengerjakan tugas yang menuntut pengetahuan. Jadi agar siswa dapat memahami matematika dengan baik sesuai yang diharapkan oleh guru, seorang guru matematika harus melibatkan siswa secara aktif baik fisik maupun mental agar siswa mengerjakan dan mengalaminya sendiri.
Sebab matematika pada hakekatnya adalah kreatifitas yang memerlukan emajinasi, intuisi, dan penemuan. Implikasi dari hakekat matematika ini, gruru tidak akan bisa melaksankan pembelajaran secara efektif hanya denga improffisasi ( tanpa perencanaan dan persiapan ). Guru matematika dituntut untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dan melaksanakannya. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran harus disusun agar memungkinkan siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran dari awal pembelajaran sampai akhir pembelajaran.
Menurut John Holt ( 1967 ), proses belajar akan meningkat jika siswa diminta untuk :
1.Mengemukakan kembali infoemasi dengan kata-kata mereka sendiri.
2.Memberikan contohnya.
3.Mengenalinya dalam bermacam bentuk dan situasi.
4.Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain.
5.Menggunakan dengan beragam cara.
6.Memprediksikan sejumlah konsekuensinya.
7.Menyebutkan lawan atau kebalikannya.
Apabila dalam pembelajaran matematika para siswa hanya pasif, maka otak siswa tidak akan menyimpan apa yang telah disajikan kepadanya. Pembelajaran matematika yang hanya didominasi oleh guru, sedangkan siswa tidak terlibat secara maksimal, maka siswa mengikuti pelajaran tanpa rasa ingin tahu, tanpa bertanya, tanpa minat terhadap hasilnya kecuali nilai.
Sebaliknya, apabila pembelajaran matematika dikemas sedemikian rupa sehingga siswa terlibat secara aktif, maka siswa akan mengupayakan sesuatu tidak hanya berharap dari gurunya semata. Diantaranya, siwa akan menginginkan jawaban atas pertanyaan, membutuhkan informasi untuk memecahkan masalah-masalah, dan mencari cara untuk mengerjakan tugas.
Pelajaran matematika tidak selalu abstrak, tetapi bisa diajarkan dengan media yang konkrit, melaui buku-buku latihan dan mempraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Masing-masing cara dalam menyajikan konsep akan menentukan pemahaman siswa.
Pembelajaran siswa aktif sangat sesuai dengan siswa masa kini ( Schrouder ). Siswa masa kini cenderung untuk berkelompok dalam melakukan berbagai aktifitas. Sehingga siswa masa kini sebagian besar bisa beradaptasi dengan baik terhadap kegiatan kelompok dan belajar bersama.
Agar pembelajaran matematika berlangsung efektif, dan siswa terlibat secara aktif, kegiatan yang sebaiknya dialkukan oleh siswa antara lain :
1.Diskusi dan proyek kelompok kecil.
2.Presentasi dan debat dalam kelas.
3.Pengalaman lapangan.
4.Simulasi.
Ada baiknya guru memberikan pelajaran singkat setelah berlangsungnya pembelajaran matematika yang melibatkan siswa secara aktif guna menghubungkan antara apa yang dialami siswa dengan konsep-konsep yang hendak disampaikan oleh guru.

4. Karakteristik Siswa
Ebbutt dan Straker ( 1995 : 60-65 ), memberikan pandangannya bahwa agar potensi siswa dapat berkembang dan mempelajari secara optimal, asumsi tentang karakteristik siswa dan implikasi terhadap pembelajaran matematika adalah sebagai berikut :
a.Siswa akan mempelajari matematika jika mereka mempunyai motivasi. Implikasi dari pandangan ini terhadap pembelajaran matematika adalah, guru perlu :
1.Menyediakan kegiatan yang menyenangkan.
2.Memperhatikan keinginan siswa.
3.Membangun pengertian melalui apa yang diketahui oleh siswa.
4.Menciptakan suasana kelas yang mendukung kegiatan belajar.
5.Memberikan kegiatan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.
6.Memberikan kegiatan yang menantang.
7.memberikan kegiatn yang memberikan harapan keberhasilan.
8.Menghargai setiap pencapaian siswa.
b.Siswa mempelajari matematika dengan caranya sendiri.
Implikasi dari pandangan ini terhadap pembelajaran matematika adalah guru perlu :
1.Mengetahui kelebihan dan kekurangan para siswanya.
2.Merencanakan kegiatan yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.
3.Membangun pengetahuan dan keterampilan siswa.
4.Membuat catatan kemajuan siswa ( assessment ).
c.Siswa mempelajari matematika baik secara mandiri maupun melalui kerja sama dengan temannya. Implikasi dari pandangan ini, gru perlu :
1.Memberikan kesempatan untuk belajar kelompok untuk melatih kerja sama.
2.Memberikan kesempatan belajar secara klasikal untuk memberi kesempatan saling bertukar gagasan.
3.Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan secara mandiri.
4.Melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan tentang kegiatan yang akan dilakukan.
5.Menjelaskan bagaiman cara mempelajari matematika.
d.Siswa memerlukan konteks dan situasi yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika. Implikasi dari pandangan ini adalah, guru perlu :
1.Menyediakan dan menggunakan berbagai alat peraga.
2.Memberi kesempatan belajar matematika di berbagai tempat dan keadaan.
3.Memberikan kesempatan menggunakan matematika untuk berbagai keperluan.
4.Mengembangkan sikap menggunakan matematika sebagai alat untuk memecahkan problematika baik di sekolah maupun di rumah.
5.Menghargai sumbangan tradisi, budaya dan seni dalam pengembangan matematika.
6.Membantu siswa menilai sendiri kegiatan matematikanya.

5.Pembelajaran Matematika Efektif
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kualitas dan efektifitas pembelajaran matematika. Oleh karena itu, guru harus membuat perencanaan dalam meningkatkan kesempatan belajar bagi para siswa.
Perubahan paradigma dalam pengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, strategi pembelajaran, sikap, dan karakteristik guru mutlak diperlukan.
Dalam menciptakan kondisi pembelajaran matematika yang efektif setidaknya ada lima hal yang perlu dilakukan oleh guru, diantaranya yaitu :
1.Melibatkan siswa secara aktif.
2.Menarik minat dan perhatian siswa.
3.Membangkitkan motivasi siswa.
4.Memahami perbedaan individu.
5.Menggunakan alat peraga yang relevan.
Sebagian besar guru mengetahui bahwa keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran sangat diperlukan agar belajar menjadi efektif dan dapat mencapai hasil yang diinginkan. Untuk itu hendaknya guru berusaha menciptakan kondisi pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif. Beberapa cara yang dapat diterapkan oleh para guru matematika dalam pemebelajaran matematika, agar para siswa dapat terlibat secara aktif selama pembelajaran matematika anatara lain sebagai berikut :
1.Gunakan waktu yang lebih banyak untuk kegiatan pembelajaran.
2.Tingkatkan partisipasi siswa secara aktif dalam pembelajaran dengan menuntut respons yang aktif dari siswa.
3.Gunakan berbagai teknik mengajar, motivasi serta penguatan
( reinforcement ).
4.Masa transisi jam pelajaran hendaknyadialkukan secara cepat dan luwes.
5.Berikan pengajaran yang jelas dan tepat sesuai dengan tujuan mengajar yang akan dicapai.
6.Usahakan agar pembelajaran lebih menarik minat siswa.
7.Kenalilah dan bantulah anak-anak yang kurang terlibat.
8.Ingatkan pengetahuan prasarat ( apersepsi ) untuk mempelajari topic yang baru.

III.Kesimpulan dan Saran.
1. Kesimpulan
Pembelajaran matematika akan efektif apabila guru selalu berupaya melibatkan siswa secara aktif sejak dimualinya pembelajaran sampai berakhirnya pembelajaran. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh guru dalam melibatkan siswa dalam pembelajaran matemtika antara lain sebagai berikut :
1.Membuat dan melaksanakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ( RPP ) yang memungkinkan siswa terlibat secara aktif sejak awal hingga akhir kegiatan pembelajaran.
2.Menggunakan alat peraga, alat bantu, dan media untuk mempermudah pemahaman konsep dan menjadikan pembelajaran lebih menarik.
3.Menggunakan berbagai teknik dalam mengajar.
4.Menggunakan metode yang bervariasi agar tidak monoton dan untuk mengurangi atau menghilangkan kejenuhan siswa.
5.Mengajar dengan penuh antusias agar siswa termotivasi.
2. Saran
Sebagai guru matematika bertanggung jawab atas kesuksesan pelaksanaan pembelajaran matematika. Oleh karena itu disarankan kepada rekan-rekan guru matematika agar :
1.Terus berusaha meningkatkan profesionalisme.
2.Selalu berusaha melibatkan siswa dalam pembelajaran matematika.
3.Membelajarkan matematika secara menarik.
4.Selalu berusaha menggunakan alat peraga atau alat bantu dalam pembelajaran matematika untuk mempermudah pemahaman siswa.





SDM DAN BALANCED SCORECARD

Idealnya setiap perusahaan memiliki manajemen strategis. Yakni bagaimana perusahaan dengan perencanaan, implementasi, dan pengendalian program mampu mencapai tujuan perusahaan. Misalnya bagaimana perusahaan mampu meraih posisi persaingan pasar secara bersinambung. Untuk itu maka perusahaan memiliki komponen-komponen visi, misi, dan tujuan; analisis kekuatan dan kelemahan perusahaan; beragam alternatif pendekatan strategis; dan komponen terakhir adalah pengembangan struktur organisasi dan sistem pengendalian program. Bagaimana hubungannya dengan model balanced scorecard?

Balanced scorecard (BSC) dicetuskan oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton di Harvard Business Review tahun 1992 berjudul “Balanced Scorecard-Measures that Drive Performance”. BSC merupakan sistem pengukuran kinerja perusahaan dilihat dari empat perspektif; finansial, pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Indikator kinerja perspektif finansial atau keuangan adalah ukuran tertinggi kinerja keuangan yang dapat diberikan pada pemegang saham. Kemudian dalam hal perspektif pelanggan adalah berapa tingkat kepuasan dan loyalitas pelanggan dan besaran pangsa pasar. Sedang pada perspektif bisnis internal ukuran kinerja utamanya adalah mutu dan percepatan waktu proses bisnis internal dalam mendorong bisnis perusahaan. Sementara itu pada perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah kemampuan perusahaan memelihara dan mengembangkan kemampuannya untuk berubah dan memperbaiki proses. Atau keberhasilan karyawan dan infra struktur dalam mempengaruhi kinerja bisnis. Ditinjau dari BSC sebagai bagian dari manajemen strategis maka lantas bagaimana hubungan semua perspektif tersebut dengan sumberdaya manusia (SDM) perusahaan?

Sejak perspektif BSC diterapkan yakni pembelajaran dan pertumbuhan, SDM memegang peranan penting dalam mencapai keberhasilan strategi perusahaan. Gambarannya adalah peningkatan mutu SDM dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan mempengaruhi proses bisnis internal dalam bentuk peningkatan mutu dan siklus waktu proses. Peningkatan mutu proses bisnis internal akan mempengaruhi perspektif pelanggan dalam bentuk peningkatan kepuasan pelanggan. Pada gilirannya akan menciptakan loyalitas pelanggan yang tinggi sekaligus pangsa pasar semakin besar. Akibat dari keberhasilan perspektif pelanggan maka besaran penjualan semakin bertambah dan kemampulabaan juga demikian. Ini berarti bagian dari deviden yang diterima pemegang saham juga semakin meningkat.

Pemahaman tentang manajemen strategis menunjukkan bahwa empat perspektif pengukuran kinerja perusahaan merupakan hal yang seimbang dan terpadu. Sebaliknya kalau tidak seperti itu maka perusahaan cenderung potensial akan mengalami kegagalan dalam mencapai tujuannya. Pada prakteknya, David P. Norton (1996) dalam artikelnya The Balanced Scorecard:Translating Strategy Into Action, mengatakan bahwa sembilan dari 10 perusahaan gagal melaksanakan strateginya. Faktor penyebabnya terdiri dari hambatan visi, hambatan operasi, hambatan SDM, dan hambatan pembelajaran. Dari segi visi, hanya lima persen saja yang memahami strategi perusahaan. Kemudian sebanyak 60 persen perusahaan, penyusunan anggarannya tidak berhubungan dengan strategi. Sedang 85 persen dari tim eksekutif menghabiskan waktu kurang dari satu jam untuk membahas strategi setiap bulannya. Sementara itu hanya 25 persen manajer saja yang memiliki perhatian dengan strategi.

Jadi tergambarkan bahwa suatu keberhasilan perusahaan ditinjau dari kinerja empat perspektif tak mungkin tercapai tanpa campur tangan SDM. Setiap perspektif membutuhkan SDM yang bermutu. Lebih khusus, ditinjau dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, peran SDM lebih nyata lagi. Unsur kunci adalah mutu SDM (ketrampilan, sikap, moral, motivasi, dan kepuasan karyawan). Semakin baik manajer memberdayakan karyawannya semakin baik mutu SDM yang dihasilkan. Ukuran keberhasilan manajer ditunjukkan dengan retensi atau loyalitas karyawan dalam meningkatkan produktifitas kerjanya. Tentu saja ini diduga akan mempengaruhi kepuasan palanggan dan meningkatkan kepekaan karyawan terhadap preferensi pelanggan. Ukuran berikutnya adalah pendapatan perkaryawan dan laba perkaryawan semakin meningkat. Lantas patut diduga pula bahwa retensi karyawan akan dicerminkan oleh rendahnya jumlah karyawan yang keluar dari perusahaan. Atau dengan kata lain reit perputaran karyawan tergolong rendah.

Agar manajemen strategis bisa tercapai sesuai dengan tujuan maka ditinjau dari peran SDM, setiap karyawan (manajemen dan non-manajemen) harus memahami strategi perusahaan. Hal ini baru akan tercapai kalau tiap manajer mampu memberdayakan para karyawannya dalam meningkatkan mutu SDM dalam hal daya tanggap, kepekaan bisnis, ketrampilan teknis, ketrampilan manajerial, dan ketrampilan bekerjasama dalam satu tim. Selain itu pihak manajer sendiri harus menempatkan strategi perusahaan sebagai acuan dalam mencapai kinerja empat perspektif. Setiap karyawan didorong untuk membahas setiap program di tiap unitnya yang terkait dengan strategi perusahaan secara intensif dan berkelanjutan.

Tulisan Asli dari artikel ini dan tulisan-tulisan menarik lainnya tentang MSDM dapat juga diakses langsung melalui: SDM DAN BALANCED SCORECARD


REKRUTMEN PEGAWAI YANG TIDAK SESUAI KEBUTUHAN ORGANISASI

REKRUTMEN PEGAWAI YANG TIDAK SESUAI
KEBUTUHAN ORGANISASI

A. LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan wahana yang sangat strategis dalam Peningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia yang juga merupakan faktor determinan pembangunan. Pendidikan adalah, usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang (UUSPN No. 20 Tahun 2003).
Dengan tidak bermaksud mengecilkan kontribusi komponen yang lainnya, komponen tenaga kependidikan atau guru merupakan salah satu faktor yang sangat esensi dalam menentukan kualitas peserta didiknya. Berkenaan dengan hal tersebut, Keputusan MENPAN nomor 26 tahun 1989 menyatakan bahwa, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah sangat dibutuhkan adanya tenaga guru yang profesional ditugaskan secara penuh untuk melaksanakan pendidikan di sekolah.
Menyadari peran dan tugas berat yang diemban oleh guru, maka kinerja guru yang berkualitas sangat dibutuhkan. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa, ternyata meningkatkan kualitas kinerja guru sangat sulit dan berkaitan dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Diantaranya adalah, faktor pendidikan sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan para guru dan faktor kesejahteraan sebagai sarana untuk memotivasi para guru dalam melaksanakan tugasnya serta faktor kebijakan pemerintah daerah.
Sejalan dengan itu, sejak terbentuknya Provinsi Gorontalo berdasarkan UU No. 38 Tahun 2000 yang ditandai dengan diresmikannya Provinsi Gorontalo oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah pada tanggal 16 Pebruari 2001, provinsi ini melakukan rekrutmen pegawai sendiri untuk melengkapi dan memenuhi tuntutan kinerja perangkat daerah termasuk didalamnya mengangkat tenaga pengajar (guru). Hal ini dilakukan karena salah satu alasan yakni dipandang sejalan dengan visi dan misi kepala daerah saat itu yakni peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan harapan dapat menunjang kemajuan dibidang pendidikan.
Padahal, disadari bahwa mengangkat tenaga pengajar (guru) oleh pemerintah daerah khususnya Provinsi Gorontalo bukanlah satu-satunya jalan untuk mendukung program peningkatan SDM, melainkan perbaikan manajemen dan peningkatan kinerja satuan kerja yakni dinas pendidikan nasional yang merupakan salah satu organisasi pemerintah yang membidangi bidang pendidikan yang berkaitan langsung dengan SDM. Akibatnya, dengan diangkatnya tenaga guru di tingkat provinsi justru akan melahirkan kebijakan yang kurang berpihak pada kepentingan guru itu sendiri yakni guru yang diangkat oleh gubernur sebagai kepala daerah di tingkat provinsi. Sementara ditingkat kota/kabupaten juga mengangkat guru untuk memenuhi kebutuhan atau kekurangan tenaga pengajar dimasing-masing sekolah.
Dengan demikian, konsentrasi pada peningkatan kualitas guru seakan terabaikan terutama bagi tenaga guru yang diangkat oleh pemda provinsi, karena sebagian besar kebijakan peningkatan kualitas guru melalui beasiswa pendidikan lanjutan maupun pelatihan dan sebagainya diserahkan ke tingkat kota/kabupaten. Sementara itu guru di provinsi mengalami berbagai kendala dalam hal peningkatan profesionalnya bahkan terkesan hanya menjadi simbol peningkatan SDM di provinsi. Padahal salah satu penghargaan yang diterima gubernur di bidang pendidikan disebabkan oleh karena adanya perhatian serius pemerintah terhadap peningkatan dibidang pendidikan serta adanya tenaga guru yang diangkat langsung oleh pemda provinsi.

B. REKRUTMEN PEGAWAI DAN PROSES ADMINISTRASI
Berlakunya kebijakan untuk mengangkat tenaga kependidikan (guru) dilingkungan Pemerintah Provinsi Gorontalo sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya adalah untuk menunjang pelaksanaan visi dan misi kepala daerah dibidang peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). Sejak tahun 2003 hingga tahun 2004, Provinsi Gorontalo merekrut tenaga guru sebanyak 25 orang dan telah ditempatkan pada sekolah-sekolah umum swasta maupun negeri dan sekolah luar biasa dengan status dipekerjakan (DPK) dan diperbantukan (DPB). Adapun distribusi tenaga guru yang diangkat oleh provinsi gorontalo dapat dilihat tabel berikut :

Tabel : Distribusi tenaga guru Provinsi Gorontalo
Tahun Guru yang Diangkat Guru yang Pindah ke Provinsi (masuk) Sebaran Guru Guru yang Dimutasi-kan ke Struktural
TK SD SLTP SLTA SLB
2003 10 3 - - 6 7 - -
2004 9 1 1 - 2 1 4 2
Jumlah 19 4 1 - 8 8 4 2

Dari jumlah 23 orang guru yang ditempatkan di sekolah-sekolah sebagaimana tabel diatas, terdapat 14 orang berstatus dipekerjakan (DPK) dan sebanyak 9 orang berstatus diperbantukan (DPB). Hal ini menggambarkan terjadi perbedaan status kepegawaian antara guru yang satu dengan lainnya padahal kinerja dan tanggungjawabnya sama.
Selain itu juga, proses diterbitkannya Surat Keputusan (SK) pengangkatan dilakukan sebanyak dua kali, SK terbitan pertama dinyatakan tidak berlaku entah alasan apa. Kemudian keluar SK terbitan kedua yang merupakan perbaikan SK yang pertama. Hal ini terjadi berulang-ulang setiap kali melakukan pengangkatan guru. Pada tahun 2004 dilakukan perubahan SK pengangkatan guru yang diangkat tahun 2003, dan pada tahun 2005 juga demikian, yakni melakukan perubahan SK pengangkatan atas guru yang telah dinyatakan lulus tahun 2004. Alasan yang mengemuka ketika itu menurut sejumlah pegawai baik di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) maupun di Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo dikarenakan provinsi tidak mengurus administrasi guru melainkan dilakukan ditingkat kota/kabupaten, sehingga terjadi kesalahan dalam konsideran SK pengangkatannya.
Persoalan ini tidak berakhir sampai disitu. Ketika pemberlakuan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) bagi seluruh pegawai dilingkungan Pemerintah Provinsi Gorontalo, guru juga menjadi bagian dari peliknya penerapan TKD tersebut. Sebagian pejabat menilai guru yang diangkat langsung oleh Pemda provinsi tidak layak menerima TKD dengan alasan bahwa guru telah mendapat tunjangan fungsional, padahal sebagian guru yang diangkat langsung oleh Pemda provinsi justru tidak memiliki SK Fungsional sebagai tenaga pengajar.
Akhirnya pada bulan April 2007 keluarlah SK jabatan fungsional guru bagi mereka yang belum memilikinya. Mereka adalah guru yang diangkat pada tahun 2004 dengan TMT 1 Januari 2005. Jadi kurang lebih dua tahun menunggu keluarnya SK jabatan fungsional tersebut.
Meski demikian, guru juga belum mendapatkan haknya untuk menerima Tunjangan Kinerja Daerah (TKD). Karena merasa berhak menerima tunjangan tersebut, para guru yang berjumlah 23 orang itu melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan TKD. Akhirnya pada Agustus 2006 guru dinyatakan berhak menerima TKD dengan besaran tunjangan yang diterima sama dengan pegawai honorer.
Lebih parah lagi, Pemda provinsi justru menerima tenaga pendidik atau guru pindahan (mutasi) dari daerah lain (kota/kabupaten) untuk menduduki jabatan atau sebagai staf di dinas atau badan. Bahkan ada beberapa diantaranya menduduki jabatan eselon II dan III di lingkungan Pemda Provinsi dan hingga saat ini mereka masih memangku jabatan tersebut.
Sejak tahun 2005 hingga saat ini, Pemda Provinsi Gorontalo tidak lagi mengangkat tenaga kependidikan (guru). Ada indikasi pengangkatan guru hanya akan menambah ruwetnya administrasi kepegawaian terutama urusan tenaga kependidikan. Padahal belum lama ini, Pemda Provinsi Gorontalo telah mendirikan gedung sekolah baru yakni Akademi Gorontalo dimana pengelolaannya diserahkan kepada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Gorontalo. Dengan dibukanya sekolah baru tersebut, idealnya pemda provinsi mengangkat guru/dosen yang akan ditugaskan untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah tersebut.
Layaknya sebuah kebijakan “Buah Simalakama” yang tidak mau mengambil resiko dari penerapan kebijakan tersebut. Pemda provinsi enggan merekrut tenaga pengajar secara langsung dan hingga saat ini belum jelas dari mana guru yang akan diambil utuk mengisi kekosongan tenaga pengajar pada sekolah baru tersebut.
Selain itu, jika ditinjau dari struktur orgnisasi yang ada di lingkungan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Gorontalo, tidak dijelaskan adanya guru dalam struktur tersebut. Nampak dalam struktur organisasi hanyalah kelompok jabatan fungsional, namun yang dimaksud adalah tenaga pengawas dilingkungan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Gorontalo dan bukan guru yang diperbantukan atau dipekerjakan pada sekolah-sekolah swast

”Peningkatan Profesionalisme Tenaga Pendidik dalam Upaya Mewujudkan Sumber Daya Manusia Pendidikan yang Unggul dan Mandiri”

”Peningkatan Profesionalisme Tenaga Pendidik dalam Upaya Mewujudkan Sumber Daya Manusia Pendidikan yang Unggul dan Mandiri”

0leh

Dr. Baedhowi, M.Si

Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK)

Departemen Pendidikan Nasional.



Pengantar
Pada era sekarang, yang sering disebut era globalisasi, institusi pendidikan formal mengemban tugas penting untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia berkualitas di masa depan. Di lingkungan pendidikan persekolahan (education as schooling) ini, guru profesional memegang kunci utama bagi peningkatan mutu SDM masa depan itu. Guru merupakan tenaga profesional yang melakukan tugas pokok dan fungsi meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik sebagai aset manusia Indonesia masa depan.

Pemerintah tidak pernah berhenti berupaya meningkatkan profesionalisme guru dan kesejahteraan guru. Pemerintah telah melakukan langkah-langkah strategis dalam kerangka peningkatan kualifikasi, kompetensi, kesejahteraan, serta perlindungan hukum dan perlindungan profesi bagi mereka. Langkah-langkah strategis ini perlu diambil, karena apresiasi tinggi suatu bangsa terhadap guru sebagai penyandang profesi yang bermartabat merupakan pencerminan sekaligus sebagai salah satu ukuran martabat suatu bangsa.

Hingga saat ini secara kuantitatif populasi guru di Indonesia sangat besar. Secara nasional masih banyak guru yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi akademik. Data tahun 2008 jumlah guru yang belum memenuhi kualifikasi S-1/DIV sebanyak 1.656.548. Untuk mempercepat seluruh guru memenuhi persyaratan kualifikasi pendidikan yang diharapkan tuntas pada tahun 2015 sesuai dengan amanat UU Nomor 14 Tahun 2005, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional sejak tahun 2006 memberikan subsidi peningkatan kualifikasi guru pada satuan pendidikan dasar dan menengah yang sedang dan akan menempuh pendidikan jenjang S1/D-IV,baik guru PNS maupun guru bukan PNS. Sejalan dengan itu, pelaksanaan sertifikasi guru yang telah dimulai sejak tahun 2007 akan terus dilakukan, sehinggan diharapkan guru-guru yang ada dan telah memenuhi persyaratan dapat memperoleh sertifikat sesuai dengan kriteria dan rentang waktu yang ditetapkan dalam undang-undang.


Membangun Profesi Guru
Saat ini telah muncul komitmen kuat dari Pemerintah Indonesia, terutama Depdiknas, untuk merevitalisasi kinerja guru antara lain dengan memperketat persyaratan bagi siapa saja yang ingin meniti karir profesi di bidang keguruan. Dengan persyaratan minimum kualifikasi akademik sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2005, diharapkan guru benar-benar memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran.

Kompetensi sebagai agen pembelajaran meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, dimana hal itu diharapkan dapat diperoleh secara penuh melalui pendidikan profesi. Ke depan, agaknya peluang orang-orang yang berminat untuk menjadi guru cukup terbuka lebar. Dalam PP No. 19 Tahun 2005 disebutkan bahwa seseorang yang tidak memiliki ijazah S1, D-IV, atau sertifikat profesi akan tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi guru pada TK/RA/BA sampai dengan SMA atau bentuk lain yang sederajat, setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan dengan rambu-rambu tertentu.

Tentu saja masalah pengelolaan guru akan selalu muncul dengan kadar yang beragam pada masing-masing daerah. Hingga kini, beberapa masalah di bidang ini menyangkut jumlah, mutu, penyebaran, kesejahteraan, perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan ketenagakerjaan, dan manajemen. Setidaknya sebagian di antara permasalahan manajemen guru tersebut agaknya akan dapat dipecahkan, jika semua pihah memiliki komitmen, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 14 Tahun 2005.

Berkaitan dengan manajemen guru, perlu perhatian khusus untuk beberapa hal yang sangat esensial, seperti termuat dalam UU Nomor 14 Tahun 2005. Pertama, pemerintah wajib memenuhi kebutuhan guru PNS, baik jumlah, kualifikasi, kompetensi maupun pemerataannya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan. Kedua, pemerintah provinsi wajib memenuhi kebutuhan guru PNS, baik jumlah, kualifikasi, kompetensi maupun pemerataannya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan menengah negeri dan pendidikan khusus negeri sesuai dengan SNP di wilayah kewenangannya masing-masing. Ketiga, pemerintah Kabupaten/Kota wajib memenuhi kebutuhan guru PNS, baik jumlah, kualifikasi, kompetensi maupun pemerataannya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar negeri dan pendidikan anak usia dini jalur formal sesuai dengan SNP di wilayah kewenangannya masing-masing.

Keempat, penyelenggara satuan pendidikan atau satuan pendidikan dasar, menengah, atau anak usia dini jalur formal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi kebutuhan guru tetap, baik jumlah, kualifikasi, maupun kompetensinya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan formal sesuai dengan SNP. Jika hal ini diikuti secara konsisten oleh pihak-pihak yang tergamit, masalah manajemen guru akan dapat dipecahkan. Tentu saja hal itu harus ditunjang oleh sistem pengangkatan dan penempatan guru dilakukan secara obyektif dan transparan.

Profesi dan Profesionalisasi Guru
Guru profesional memiliki kemampuan mengorganisasikan lingkungan belajar yang produktif. Kata “profesi” secara terminologi diartikan suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya dengan titik tekan pada pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual. Kamampuan mental yang dimaksudkan di sini adalah ada persyaratan pengetahuan teoritis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis.

Dari sudut penghampiran sosiologi, Vollmer & Mills dalam bukunya Professionalization (1972) mengemukakan bahwa profesi menunjuk kepada suatu kelompok pekerjaan dari jenis yang ideal, yang sesungguhnya tidak ada di dalam kenyataan atau tidak pernah akan tercapai, akan tetapi menyediakan suatu model status pekerjaan yang bisa diperoleh, bila pekerjaan itu telah mencapai profesionalisasi secara penuh. Kata profesional berarti sering diartikan sifat yang ditampilkan oleh seorang penyandang profesi, berikut implikasinya dikaitkan dengan kebutuhan hidupnya. Dalam UU No. 14 tahun 2005, kata profesional diartikan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Profesionalisme berasal dari kata bahasa Inggris professionalism yang secara leksikal berarti sifat profesional. Profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu. Profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis ini harus sejalan dengan tuntutan tugas yang diemban sebagai guru.

Sebagi tenaga profesional, guru dituntut memvalidasi ilmunya, baik melalui belajar sendiri maupun melalui program pembinaan dan pengembangan yang dilembagakan oleh pemerintah atau masyarakat. Pembinaan merupakan upaya peningkatan profesionalisme guru yang dapat dilakukan melalui kegiatan seminar, pelatihan, dan pendidikan. Pembinaan guru dilakukan dana kerangka pembinaan profesi dan karier. Pembinaan profesi guru meliputi pembinaan kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Pembinaan karier sebagaimana dimaksud pada meliputi meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.


Strategi Peningkatan Mutu Guru
Lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan mutu guru, sekaligus diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Di dalam UU ini diamanatkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kebijakan prioritas dalam rangka pemberdayaan guru saat ini adalah meningkatan kualifikasi, peningkatan kompetensi, sertifikasi guru, pengembangan karir, penghargaan dan perlindungan, perencanaan kebutuhan guru, tunjangan guru, dan maslahat tambahan.

Sejalan dengan itu, ke depan beberapa kebijakan yang digariskan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada umumnya dan meningkatkan mutu guru khususnya, antara lain mencakup hal-hal berikut ini. Pertama, melakukan pendataan, validasi data, pengembangan program dan sistem pelaporan pembinaan profesi pendidik melalui jaringan kerja dengan P4TK, LPMP, dan Dinas Pendidikan.

Kedua, mengembangkan model penyiapan dan penempatan pendidik untuk daerah khusus melalui pembentukan tim pengembang dan survey wilayah. Ketiga, menyusun kebijakan dan mengembangkan sistem pengelolaan pendidik secara transparan dan akuntabel melalui pembentukan tim pengembang dan program rintisan pengelolaan pendidik.

Keempat, meningkatkan kapasitas staf dalam perencanaan dan evaluasi program melalui pelatihan, pendidikan lanjutan dan rotasi. Kelima, mengembangkan sistem layanan pendidik untuk pendidikan layanan khusus melalui kerja sama dengan LPTK dan lembaga terkait lain. Keenam, melakukan kerja sama antar lembaga di dalam dan di luar negeri melalui berbagai program yang bermanfaat bagi pengembangan profesi pendidik.

Ketujuh, mengembangkan sistem dan pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan melalui pembentukan tim pengembang dan tim penjamin mutu pendidikan. Kedelapan, menyusun kebijakan dan mengembangkan sistem pengelolaan pendidik secara transparan dan akuntabel melalui pembentukan tim pengembang dan program rintisan pengelolaan guru dan tenaga kependidikan.

Alternatif Model Peningkatan Kualifikasi Guru
Depdiknas telah menetapkan banyak model peningkatan kualifikasi akademik bagi guru. Seorang guru dalam menentukan model yang dipilih, dengan mempertimbangkan beberapa hal yang berkenaan dengan kemampuan akademik, kesiapan mental dan tanggung jawab sebagai PNS dengan tugas sebagai guru di sekolah. Berikut adalah model-model peningkatan kualifikasi akademik yang dapat dipilih untuk meningkatkan kualifikasi guru.

Model Tugas Belajar, dimana guru yang mengikuti model ini dibebaskan dari tugas mengajar dan ditugaskan mengikuti perkuliahan di salah satu Perguruan Tinggi. Tugas belajar ini dapat bersifat mandiri maupun kelompok. Tugas belajar mandiri merupakan peningkatan kualifikasi ke S1 atau D4 yang perkuliahannya terintegrasi dengan program S1 atau D4 reguler yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi, sedangkan tugas belajar kelompok minimal 20 orang dengan menyelenggarakan kuliahnya dilaksanakan dalam kelas tersendiri. Tugas belajar yang bersifat kelompok dilaksanakan dalam bentuk kerjasama dengan lembaga terkait, baik Pemerintah maupun pemerintah daerah.

Model Ijin Belajar, dimana guru tetap melaksanakan tugas mengajar di sekolah, tetapi dalam waktu yang sama mereka juga mengikuti kuliah di perguruan tinggi. Perkuliahan dilaksanakan di sela-sela mengajar atau pada hari tidak mengajar. Peningkatan kualifikasi model ini dapat besifat mandiri maupun kelompok. Ijin belajar yang bersifat mandiri sama dengan tugas belajar mandiri hanya berbeda pada beban mengajar, sedangkan ijin belajar kelompok minimal juga 20 guru.

Model Akreditasi, dimana guru tidak meninggalkan tugas sehari-hari dan tidak merugikan anak didik. Pelaksanaan model akreditasi ini dapat dilaksanakan dengan melakukan kerjasama antara unit pembina guru dengan LPTK atau perguruan tinggi yang mempunyai program kependidikan. Unit pembina guru misalnya Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan, dan Dinas Pendidikan Kabupaten dan Propinsi.

Model Belajar Jarak Jauh (BJJ), diperuntukkan bagi guru yang tinggal jauh dari LPTK penyelenggara. Dengan mengikuti program BJJ, guru tidak perlu meninggalkan tugas mengajar sehari-hari. Tutorial diadakan satu minggu sekali, di tempat yang mudah dijangkau oleh para guru. Tutorial berfungsi sebagai pemantapan substansi kajian yang telah dibaca oleh para guru, berbagi masalah pembelajaran dan mengkaji cara pemecahannya, kemudian diterapkan di sekolah masing-masing.

Model Berkala, dimana proses pelaksanaan kualifikasi guru model berkala dilakukan pada saat liburan sekolah. Model ini terdiri dari dua jenis. Pertama, Model Berkala Terpadu, yakni proses perkuliahan dilakukan pada saat liburan antar semester genap dan semester ganjil di sekolah. Kedua, Model Berkala Model Blok Waktu (Block Time), dimana perkuliahan dilakukan pada saat liburan sekolah saja dalam satu satuan blok waktu.

Model Berdasarkan Peta Kewilayahan, dimana model ini dilaksanakan sebagai alternatif pengembangan kebutuhan layanan kualifikasi berdasarkan kekuatan yang dimiliki oleh kelembagaan LPTK dan P4TK di wilayah. Dalam hal ini dilihat sejauhmana kekuatan LPTK sebagai pusat pengembangan keilmuan tertentu dan kekuatan P4TK sebagai pusat pengembangan mata pelajaran. Kedua lembaga tersebut dapat bekerja sama untuk melaksanakan program kualifikasi berdasarkan spesifikasi mata pelajaran yang dikembangkan oleh P4TK dan disepakati oleh LPTK.

Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) Berbasis ICT. Program ini merupakan program peningkatan kualifikasi khusus bagi guru SD (lulusan D-2) yang belum berkualifikasi S-1 untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S-1.

Peningkatan Kualifikasi Akademik (PKA) Guru Berbasis KKG , dimana program ini merupakan peningkatan kualifikasi akademiki S-1 PGSD bagi guru SD dengan menggunakan sistem pendidikan jarak jauh yang diselenggarakan di kelompok kerja guru oleh perguruan tinggi yang ditunjuk.

Sertifikasi Guru
Sertifikasi merupakan proses mendapatkan sertifikat profesi. Sertifikasi guru dilaksanakan melalui pendekatan prajabatan dan dalam jabatan. Sertifikasi prajabatan merupakan kegiatan sertifikasi bagi calon guru, sedangkan sertifikasi guru dalam jabatan dilaksanakan bagi guru-guru yang sudah berdinas.

Pelaksanaan sertikasi guru dalam jabatan diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no. 18 tahun 2007. Menurut Permen ini, sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan. Program ini diikuti oleh guru dalam jabatan yang telah memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV). Program ini diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.

Khusus bagi guru dalam jabatan, sertifikasi dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik. Uji kompetensi dimaksud dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Sertifikasi guru bertujuan untuk (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) peningkatan proses dan mutu hasil pendidikan, dan (3) peningkatan profesionalisme guru. Manfaat sertifikasi guru dapat dirinci seperti berikut ini. Pertama, melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru. Kedua, melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional. Ketiga, menjaga lembaga penyelenggara pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dari keinginan internal dan tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Pelaksanaan sertifikasi guru dilakukan dengan prinsip objektif, transparan, dan akuntabel. Objektif yaitu mengacu kepada proses perolehan sertifikat pendidik yang impartial, tidak diskriminatif, dan memenuhi standar pendidikan nasional. Transparan yaitu mengacu kepada proses sertifikasi yang memberikan peluang kepada para pemangku kepentingan pendidikan untuk memperoleh akses informasi tentang pengelolaan pendidikan, yang sebagai suatu sistem meliputi masukan, proses, dan hasil sertifikasi. Akuntabel merupakan proses sertifikasi yang dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan pendidikan secara administratif, finansial, dan akademik.

Pelaksanaan peningkatan kemampuan profesional guru, baik melalui peningkatan kualifikasi maupun program sertifikasi akan dilakukan secara terus menerus. Pada tahun 2007 lebih dari 170.000 guru akan diberi beasiswa untuk peningkatan kualifikasi setara S1/D4, dan akan ditingkatkan terus dari tahun ke tahun. Sehingga delapan tahun kemudian, sesuai dengan amanat UU No. 14 Tahun 2005, diharapkan guru-guru kita sudah berkualifikasi S1/D4. Pemerintah juga memberi apresiasi tinggi kepada Pemerintah Daerah yang telah melakukan langkah-langkah nyata untuk membantu guru dalam rangka peningkatan kualifikasinya. Disamping itu pada tahun 2007 sekitar 200.000 guru akan menempuh uji sertifikasi untuk mendapatkan sertifikat pendidik, dan akan ditingkatkan terus dari tahun ke tahun. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama guru-guru kita dapat memiliki sertifikat pendidik sesuai dengan amanat UU No. 14 Tahun 2005. Pada tahun 2008 ini juga diprogramkan program sejenis, yang jumlahnya diharapkan paling sedikit sama dengan tahun sebelumnya.

Pengembangan Profesional Guru secara Berkelanjutan
Sebagi tenaga profesional, guru dituntut memvalidasi ilmunya, baik melalui belajar sendiri maupun melalui program pembinaan dan pengembangan yang dilembagakan oleh pemerintah. Pembinaan merupakan upaya peningkatan profesionalisme guru yang dapat dilakukan melalui kegiatan seminar, pelatihan, dan pendidikan. Pembinaan guru dilakukan dalam kerangka pembinaan profesi dan karier. Pembinaan profesi guru meliputi pembinaan kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Pembinaan karier sebagaimana dimaksud pada meliputi penugasan dan promosi.

Seperti disebutkan di atas, aktivitas pengembangan profesi guru bersifat terus-menerus, tiada henti, dan tidak ada titik puncak kemampuan profesional yang benar-benar final. Di sinilah esensi bahwa guru harus menjalani proses pengembangan profesional berkelanjutan (PPB) atau continuing professional development (CPD). PPB atau CPD bermakna sebagai semua inisiatif individu dan kegiatan pengembangan profesional yang tersedia untuk mendukung pengembangan kompetensi guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah. Dalam konteks interaksi kepengawasan sekolah atau kepengawasan pembelajaran, sentral utama pembinaan adalah guru.

Apakah PPB atau CPD itu? PPB atau CPD adalah semua program dan kebijakan pengembangan profesional yang tersedia untuk mendukung pengembangan kompetensi guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah. PPB atau CPD adalah aktivitas reflektif yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan, pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan seseorang. CPD menunjang kebutuhan seseorang dan memperbaiki praktek-praktek profesionalnya. PPB atau CPD juga bermakna cara setiap anggota asosiasi profesi memelihara, memperbaiki, dan memperluas pengetahuan dan keterampilan mereka dan mengembangkan kualitas diri yang diperlukan dalam kehidupan profesional mereka.

Dengan demikian PPB atau CPD memuat tiga istilah utama. Yaitu continuing, professional, dan development. Disebut continuing (berkelanjutan) karena belajar tidak pernah berhenti tanpa memperhatikan usia maupan senioritas. Disebut professional (profesional) karena CPD difokuskan pada kompetensi-kompetensi profesional dalam sebuah peran profesional. Disebut development (pengembangan) karena tujuannya adalah untuk memperbaiki kinerja seseorang dan untuk memperkuat kemajuan karir seseorang yang jauh lebih luas dari sekedar pendidikan dan pelatihan formal biasa.

Pengembangan profesional tenaga kependidikan harus dipandang sebagai suatu pola pengembangan berkelanjutan dari pendidik yang tidak atau kurang memiliki kompetensi yang andal (unqualified) sampai pendidik senior di sekolah, kepala sekolah, atau pengawas. Kemampuan profesional guru, kepala sekolah, dan pengawas itu bersifat dinamis.

Kerangka kerja pengembangan profesional pada akhirnya harus mencakup tiga jenis CPD yang berbeda. Dalam jangka pendek akan ada peluang keempat yang juga harus dipertimbangkan:
Program inti nasional pengembangan profesional yang membantu para pendidik, kepala sekolah, dan pengawas sekolah untuk memperbaiki diri mereka secara profesional sejak saat mereka mulai bertugas sampai mereka pensiun.
Program tersebut harus memungkinkan tersedianya sumber daya untuk memperkenalkan prioritas program nasional.
Program tersebut harus mencakup sumber daya yang tersedia untuk merespon kebutuhan yang teridentifikasi oleh pendidik, kepala sekolah, pengawas, sekolah dan kelompok sekolah.
Dalam jangka pendek ada elemen ke empat yang mendukung pendidik, kepala sekolah, dan pengawas sekolah yang unqualified untuk memperoleh persyaratan kompetensi profesional saat ini.

Program utama ini akan membantu para pendidik mengevaluasi diri berdasarkan standar kompetensi saat mereka menyelesaikan program induksi, kemudian dapat dibuat penilaian bagi pendidik yang akan promosi dari guru pertama menjadi guru muda, guru muda menjadi guru madya, guru madya menjadi guru utama, kepala sekolah atau pengawas. CDP yang efektif adalah CPD yang memiliki ciri-ciri berikut:

Setiap aktivitas CPD adalah bagian dari sebuah rencana jangka panjang yang koheren yang memberi kesempatan pada peserta CPD untuk menerapkan apa yang mereka pelajari, mengevaluasi dampak pada praktek pembelajaran mereka, mengembangkan praktek-praktek mereka.
CPD direncanakan dengan visi yang jelas tentang praktik-praktik yang efektif atau yang dikembangkan. Visi dipahami bersama oleh semua pemangku kepentingan CPD dan oleh Pimpinan dan Staf Pendukung CPD.
CPD memungkinkan peserta untuk mengbangkan keterampilan, pengetahuan, dan pemahaman yang praktis, relevan, dan dapat diterapkan pada peran atau karir saat ini dan masa depan.
CPD harus disiapkan oleh orang berpengalaman, berkeakhlian, dan berketerampilan.
CPD didasarkan pada bukti-bukti terbaik yang tersedia tentang praktik pembelajaran.
CPD mempertimbangkan pengetahuan dan pengalaman peserta.
CPD ditunjang oleh pembinaan atau mentoring oleh teman sejawat yang berpengalaman baik dari dalam sekolah itu sendiri maupun dari luar.
CPD dapat menggunakan hasil observasi kelas sebagai dasar pengembangan fokus CPD dan dampak CPD.
CPD merupakan pemodelan pembelajaran efektif dan pemodelan strategi pembelajaran.
CPD memunculkan secara terus menerus rasa ingin tahu dan kemampuan problem solving dalam kehidupan sehari-hari di sekolah.
Dampak CDP pada proses pembelajaran terus menerus dievaluasi, dan hasil evaluasi ini mengarahkan pengembangan aktivitas profesional secara terus menerus.

Mutu Pendidikan
Dalam pengertian umum, mutu mengandung makna derajat keunggulan suatu produk atau hasil kerja, baik berupa barang maupun jasa. Barang dan jasa pendidikan itu bermakna dapat dilihat dan tidak dapat dilihat, namun dapat dirasakan.

Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mengacu pada masukan, proses, luaran, dan dampaknya. Mutu masukan dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, kondisi baik atau tidaknya masukan sumber daya manusia, seperti kepala sekolah, guru, laboran, staf tata usaha, siswa, dan lain-lain. Kedua, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan material berupa alat peraga, buku-buku, kurikulum, prasarana dan sarana sekolah, dan lain-lain. Ketiga, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan yang berupa perangkat lunak, seperti peraturan, struktur organisasi, deskripsi kerja, struktur organisasi, dan lain-lain. Keempat, mutu masukan yang bersifat harapan dan kebutuhan, seperti visi, motivasi, ketekunan, cita-cita, dan lain-lain.

Mutu proses pembelajaran mengandung makna kemampuan sumberdaya sekolah mentransformasikan multijenis masukan dan situasi untuk mencapai derajat nilai tambah tertentu bagi peserta didik. Termasuk dalam kerangka mutu proses pendidikan ini adalah derajat kesehatan, keamanan, disiplin, keakraban, saling menghormati, kepuasan dan lain-lain dari subjek selama memberikan dan menerima jasa layanan. Menurut Umaedi (1999), manajemen sekolah dan manajemen kelas berfungsi mensinkronkan berbagai masukan tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi belajar mengajar. Kesemua komponen itu bersinergi mendukung proses pembelajaran.

Hasil pendidikan dipandang bermutu jika mampu melahirkan keunggulan akademik dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran tertentu. Keunggulan akademik dinyatakan dengan nilai yang dicapai oleh peserta didik. Keunggulan ekstrakurikuler dinyatakan dengan aneka jenis keterampilan yang diperoleh oleh siswa selama mengikuti program-program ekstrakurikuler itu. Di luar kerangka itu, mutu luaran juga dapat dilihat dari nilai-nilai hidup yang dianut, moralitas, dorongan untuk maju, dan lain-lain yang diperoleh anak didik selama menjalani pendidikan.

Mutu sebuah sekolah juga dapat dilihat dari tertib administrasinya. Salah satu bentuk dari tertib administrasi adalah adanya mekanisme kerja yang efektif dan efisien, baik secara vertikal maupun horizontal. Dilihat dari persepektif operasional, manajemen sekolah berbasis MBS dikatakan bermutu, jika sumber daya manusianya bekerja secara efektif dan efisien. Mereka bekerja bukan karena ada beban atau karena diawasi secara ketat. Proses pekerjaannya pun dilakukan benar dari awal, bukan mengatasi aneka masalah yang timbul secara rutin, karena kekeliruan yang tidak disengaja.

Kedewasan dalam bekerja menjadi ciri lain dari manajemen sekolah yang bermutu.Tenaga akademik dan staf administratif bekerja bukan karena diancam, diawasi, atau diperintah oleh pimpinan atau atasannya. Mereka bekerja karena memiliki rasa tanggungjawab akan tugas pokok dan fungsinya. Sikap mental (mind set) tenaga kependidikan di sekolah menjadi prasyarat bagi upaya meningkatkan mutu. Merujuk pada pendapat Edward Sallis (1993), sekolah yang bermutu bercirikan:

Berfokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal. Pada sekolah yang bermutu totalitas perilaku staf, tenaga akademik, dan pimpinan melakukan tugas pokok dan fungsi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Inisiatif ini perlu didukung oleh mekanisme kerja secara vertikal dan horizontal dengan menempatkan kepentingan akademik sebagai inti kegiatan. Siapakah pelanggan pendidikan itu? Menurut Edward Sallis (1993) pelanggan jasa pendidikan umumumnya dan sekolah khususnya adalah semua pihak yang memerlukan, terlibat di dalam, dan berkepentingan terhadap jasa pendidikan itu.
Berfokus pada upaya untuk mencegah masalah-masalah yang muncul, dalam makna ada komitmen untuk bekerja secara benar dari awal.
Investasi pada sumber daya manusianya, yang komitmennya perlu terus dijaga jangan sampai mengalami “kerusakan”, karena “kerusakan psikologis” amat sulit memperbaikinya.
Memiliki strategi untuk mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik, maupun tenaga administratif.
Mengelola atau memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk mencapai kualitas dan memposisikan kesalahan sebagai instrumen untuk berbuat benar pada even kerja berikutnya.
Memiliki kebijakan dalam perencanaan untuk mencapai kualitas, baik perencanaan jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.
Mengupayakan proses perbaikan dengan melibatkan semua orang sesuai dengan tugas pokok, fungsi, dan tanggungjawabnya.
Mendorong orang yang dipandang memliki kreatifitas dan mampu menciptakan kualitas, serta merangsang yang lainnya agar dapat bekerja secara berkualitas.
Memperjelas peran dan tanggungjawab setiap orang, termasuk kejelasan arah kerja secara vertikal dan horizontal.
Memiliki strategi dan kriteria evaluasi yang jelas.
Memandang atau menempatkan kualitas yang telah dicapai sebagai jalan untuk memperbaiki kualitas layanan lebih lanjut.
Memandang kualitas sebagai bagian integral dari budaya kerja.
Menempatkan peningkatan kualitas secara terus-menerus sebagai suatu keharusan.



Penutup
Pemerintah akan terus berusaha meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru. Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 14 Tahun 2005, bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kalifikasi akademik dimaksud diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Disamping berkualifikasi sebagaimana dimaksud, guru-guru dituntut memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Implementasi program peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru, termasuk sertifikasi guru, akan dilakukan secara bertahap. Tentu saja hal ini mengharuskan partisipasi aktif masyarakat dan terutama penyelenggara pendidikan.

Makalah pada Forum Seminar Nasional “Peningkatan Profesionalisme Pendidik dalam Upaya Mewujudkan Sumberdaya Manusia Pendidikan yang Unggul dan Mandiri yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Jawa Tengah, tanggal 20 Desember 2008.

Pembinaan Kesiswaan Perpaduan Kebijakan dengan Kegiatan

Pembinaan Kesiswaan Perpaduan Kebijakan dengan Kegiatan

A. Dasar Pemikiran

Pembinaan KesiswaanPembangunan di bidang pendidikan diarahkan kepada pengembangan sumberdaya manusia yang bermutu tinggi, guna memenuhi kebutuhan dan menghadapi tantangan kehidupan di masa depan. Melalui pendidikan, sumberdaya manusia yang bersifat potensi diaktualisasikan hingga optimal; dan seluruh aspek kepribadian dikembangkan secara terpadu.

Sejalan dengan peningkatan mutu sumberdaya manusia, Departemen Pendidikan Nasional terus berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama (Direktorat PSMP), Ditjen Mandikdasmen, dalam hal ini telah melakukan berbagai upaya, baik pengembangan mutu pembelajaran, pengadaan sarana dan prasarana, perbaikan manajemen kelembagaan sekolah, maupun pembinaan kegiatan kesiswaan.

Peningkatan mutu pendidikan di sekolah tidak hanya terpaku pada pencapaian aspek akademik, melainkan aspek non-akademik juga; baik penyelenggaraannya dalam bentuk kegiatan kurikuler ataupun ekstra-kurikuler, melalui berbagai program kegiatan yang sistematis dan sistemik. Dengan upaya seperti itu, peserta didik (siswa) diharapkan memperoleh pengalaman belajar yang utuh; hingga seluruh modalitas belajarnya berkembang secara optimal.

Di samping itu, peningkatan mutu diarahkan pula kepada guru sebagai tenaga kependidikan yang berperan sentral dan strategis dalam memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik di sekolah. Peningkatan mutu guru merupakan upaya mediasi dalam rangka pembinaan kesiswaan. Tujuan dari peningkatan mutu guru adalah pengembangan kompetensi dalam layanan pembelajaran, pembimbingan, dan pembinaan kesiswaan secara terintegrasi dan bermutu.

Dengan demikian, dalam pembinaan kesiswaan terlingkup program kegiatan yang langsung melibatkan peserta didik (siswa) sebagai sasaran; ada pula program yang melibatkan guru sebagai mediasi atau sasaran antara (tidak langsung). Namun, sasaran akhir dari kinerja pembinaan kesiswaan adalah perkembangan siswa yang optimal; sesuai dengan karakteristik pribadi, tugas perkembangan, kebutuhan, bakat, minat, dan kreativitasnya.

Layanan Pendidikan yang Bermutu di Sekolah

Layanan Pendidikan

B. Kompetensi Pembina Kesiswaan

Walaupun di sekolah-sekolah telah ada wakil kepala sekolah urusan kesiswaan, akan tetapi sifatnya koordinatif dan administratif. Ia bertugas mewakili kepala sekolah dalam hal memadukan rencana serta mengkoordinasikan penyelenggaraan pembinaan kesiswaan sebagai bagian yang terpadu dari keseluruhan program pendidikan di sekolah.

Pada dasarnya, pembinaan kesiswaan di sekolah merupakan tanggung jawab semua tenaga kependidikan. Guru adalah salah satu tenaga kependidikan yang kerap kali berhadapan dengan peserta didik dalam proses pendidikan. Guru sebagai pendidik bertanggungjawab atas terselenggaranya proses tersebut di sekolah, baik melalui bimbingan, pengajaran, dan atau pelatihan. Seluruh tanggung jawab itu dijalankan dalam upaya memfasilitasi peserta didik agar kompetensi dan seluruh aspek pribadinya berkembang optimal. Apabila guru hanya menjalankan salah satu bagian dari tanggung jawabnya, maka perkembangan peserta didik tidak mungkin optimal. Dengan kata lain, pencapaian hasil pada diri peserta didik yang optimal, mempersyaratkan pelayanan dari guru yang optimal pula.

Oleh karena guru merupakan tenaga kependidikan, maka guru pun bertanggungjawab atas terselenggaranya pembinaan kesiswaan di sekolah secara umum dan secara khusus terpadu dalam setiap mata pelajaran yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Dengan demikian, setiap guru sebagai pendidik seyogianya memahami, menguasai, dan menerapkan kompetensi bidang pembinaan kesiswaan.

Dalam kerangka berpikir dan bertindak seperti itulah dikembangkan standar kompetensi guru bidang pembinaan kesiswaan; yang selanjutnya dirinci ke dalam sub-sub kompetensi dan indikator-indikator sebagai rujukan penyelenggaraan pembinaan kesiswaan. Keseluruhan indikator yang diturunkan dari enam kompetensi dasar yang dimaksud dapat dijadikan acuan, baik bagi penyelenggaraan pembinaan kesiswaan secara umum dalam program pendidikan di sekolah; maupun secara khusus terpadu dalam program pembelajaran dan bimbingan yang menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran dan guru pembimbing.


Fungsi dan tujuan akhir pembinaan kesiswaan secara umum sama dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; sebagaimana tercantum dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II, Pasal 3, yang berbunyi sebagai berikut.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Adapun secara khusus, pembinaan kesiswaan ditujukan untuk memfasilitasi perkembangan peserta didik (siswa) melalui penyelenggaraan program bimbingan, pembelajaran, dan atau pelatihan, agar peserta didik dapat mewujudkan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.

1.
Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bentuk kegiatannya antara lain: (a) pelaksanaan ibadah yang sesuai dengan ajaran agama masing-masing; (b) kegiatan-kegiatan keagamaan; (c) peringatan hari-hari besar keagamaan; (d) perbuatan amaliyah; (e) bersikap toleran terhadap penganut agama lain; (f) kegiatan seni bernafaskan keagamaan; dan (g) lomba yang bersifat keagamaan.
2.
Kepribadian yang utuh dan budi pekerti yang luhur . Kegiatannya dapat dalam bentuk pelaksanaan: (a) tata tertib sekolah; (b) tata krama dalam kehidupan sekolah; dan (c) sikap hormat terhadap guru, orangtua, sesama siswa, dan lingkungan masyarakat.
3.
Kepemimpinan. Kegiatan kepemimpianan antara lain siswa dapat berperan aktif dalam OSIS, kelompok belajar, kelompok ilmiah, latihan dasar kepemimpinan, forum diskusi, dan sebagainya.
4.
Kreativitas, keterampilan, dan kewirausahaan. Dalam hal ini bentuk kegiatannya, antara lain: (a) keterampilan menciptakan suatu barang menjadi lebih berguna; (b) kreativitas dan keterampilan di bidang elektronika, pertanian/perkebunan, pertukangan kayu dan batu, dan tata laksana rumah tangga (PKK); (c) kerajinan dan keterampilan tangan; (d) koperasi sekolah dan unit produksi; (e) praktik kerja nyata; dan (f) keterampilan baca-tulis.
5.
Kualitas jasmani dan kesehatan. Kegiatannya dapat dalam bentuk: (a) berperilaku hidup sehat di lingkungan sekolah, rumah, dan masyarakat; (b) Usaha Kesehatan Sekolah/UKS; (c) Kantin Sekolah; (d) kesehatan mental; (e) upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba; (f) pencegahan penularan HIV/AIDS; (g) olah raga; (h) Palang Merah Remaja (PMR); (i) Patroli Keamanan Sekolah (PKS); (j) Pembiasaan 5K (keamanan, kebersihan, ketertiban, keindahan, dan kekeluargaan); dan (k) peningkatan kemampuan psikososial untuk mengatasi berbagai tantangan hidup.
6.
Seni-Budaya. Kegiatannya dapat dalam bentuk: (a) wawasan keterampilan siswa di bidang seni suara, tari, rupa, musik, drama, photografi, sastra, dan pertunjukan; (b) penyelenggaraan sanggar seni; (c) pementasan/pameran berbagai cabang seni; dan (d) pengenalan dan apresiasi seni-budaya bangsa.
7.
Pendidikan pendahuluan bela negara dan wawasan kebangsaan. Bentuk kegiatannya antara lain: (a) upacara bendera; (b) bhakti sosial/masyarakat; (c) pertukaran pelajar; (d) baris berbaris; (e) peringatan hari besar bersejarah bangsa; (f) wisata siswa (alam, tempat bersejarah); (g) pencinta alam; (h) napak tilas; dan (i) pelestarian lingkungan.



C. Materi Program

Dalam keseluruhan program Direktorat PSMP, program-program pembinaan kesiswaan termasuk kelompok bidang peningkatan mutu. Di dalam kelompok program peningkatan mutu terdapat bagian-bagian atau sub kelompok program yang memayungi program-program pembinaan kesiswaan. Berdasarkan sub kelompok program peningkatan mutu, program-program pembinaan kesiswaan ada yang langsung melibatkan siswa sebagai sasaran kegiatan; ada pula yang melibatkan guru sebagai sasaran tidak langsung (mediasi/sasaran antara). Adapun sub kelompok program pembinaan kesiswaan meliputi sebagai berikut.

1.
Lokakarya Kegiatan Kesiswaan , terdiri dari: (a) Kegiatan yang bersifat akademik; dan (b) Kegiatan non-akademik.
2.
Pengembangan Program Kesiswaan , meliputi pengembangan: (a) klub olah raga siswa; (b) klub bakat, minat, dan kreativitas siswa; (c) etika, tata tertib, dan tata kehidupan sosial di sekolah; dan (d) Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
3.
Program Pra-vokasional untuk siswa SMP dinamakan Program Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup Melalui Pendidikan Pra-vokasional.
4.
Program Lomba Kesiswaan , meliputi: (a) International Junior Science Olympiad/IJSO; (b) Olimpiade Sains Nasional untuk Siswa SMP; (c) Lomba Penelitian Ilmiah Pelajar (LPIP); (d) Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Siswa SMP; (e) Lomba Mengarang Dalam Bahasa Indonesia; (f) Lomba Pidato Dalam Bahasa Inggris; dan (g) Lomba Motivasi Belajar Mandiri (Lomojari) untuk Siswa SMP Terbuka.
5.
Pembinaan Lingkungan Sekolah , terdiri dari: (a) Asistensi Pendidikan Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba; (b) Program Pembinaan Sekolah Sehat (Lomba Sekolah Sehat/LSS); dan (c) Program Pendidikan Budi Pekerti.

D. Strategi Pelaksanaan

Sesuai dengan tujuan dan karakteristik materi program pembinaan kesiswaan tersebut di atas, maka strategi yang digunakan meliputi pelatihan (terintegrasi dan distrik), lokakarya, kunjungan sekolah (school visit), dan perlombaan/pertandingan (bersifat kompetisi). Penggunaan jenis strategi bersifat fleksibel, dalam arti dapat digunakan satu strategi untuk program tertentu; dan atau beberapa strategi dikombinasikan dalam pelaksanaan satu atau beberapa program, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pelaksanaan.

Di samping itu, dasar pertimbangan penggunaan suatu strategi mencakup aspek-aspek sebagai berikut: (1) keluasan materi dan sasaran program; (2) waktu dan tempat penyelenggaraan; (3) tenaga pelaksana; dan (4) dana yang tersedia.

Strategi pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi digunakan dalam program pembinaan kesiswaan yang melibatkan sasaran guru atau tenaga pendidikan; dan pelaksanaan pelatihan itu merupakan bagian dari program pelatihan lainnya (program induk) yang serumpun. Dalam hal ini, baik biaya, tenaga pelatih, maupun bahan atau materi pelatihan program pembinaan kesiswaan merupakan bagian dari program induk.

Strategi pelatihan distrik (district training) merupakan bentuk pengembangan kapasitas aparat pendidikan tingkat provinsi, kabupaten-kota, dan atau sekolah yang diselenggarakan di tingkat provinsi tentang program pembinaan kesiswaan tertentu atau program yang serumpun. Tentu saja, biaya, tenaga pelatih, dan bahan atau materi pelatihan berasal dari pusat; sedangkan tempat/lokasi pelatihan dikoordinasikan dengan pihak provinsi.

Strategi lokakarya (workshop) digunakan dalam rangka menghasilkan sesuatu, baik berupa rumusan acuan, rencana kegiatan, pengembangan teknik atau instrumen, maupun kesamaan persepsi, wawasan, dan komitmen untuk kepentingan pelaksanaan program yang terlingkup dalam bidang pembinaan kesiswaan. Lokakarya dapat diselenggarakan secara nasional atau di tingkat pusat; dan dapat pula dibagi menjadi beberapa region penyelenggaraan.

Kunjungan sekolah (school visit) merupakan strategi yang digunakan dalam bentuk kegiatan pemantauan (monitoring), penilaian (evaluasi), pengamatan (observasi), studi kasus, dan atau konsultasi klinis-pengembangan, baik tentang persiapan, pelaksanaan, maupun hasil suatu program pembinaan kesiswaan. Strategi kunjungan sekolah dilaksanakan terutama untuk mempersempit kesenjangan antara kebijakan yang dihasilkan di tingkat pusat dengan pelaksanaan suatu program pembinaan kesiswaan di tingkat sekolah sasaran.

Perlombaan merupakan strategi pelaksanaan program pembinaan kesiswaan yang bersifat kompetitif, melibatkan siswa atau sekolah peserta secara langsung dalam suatu event atau kegiatan, baik yang bertaraf internasional maupun nasional. Strategi perlombaan dapat dilaksanakan sebagai kegiatan tunggal (bukan kegiatan yang dilaksanakan secara bertahap dari tingkat bawah); dapat pula (lazimnya) dilakukan secara bertahap dari tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat nasional ataupun internasional.

E. Evaluasi

Evaluasi perlu dilakukan untuk mengukur kadar efektivitas dan efisiensi setiap program pembinaan kesiswaan. Pada gilirannya, hasil evaluasi dapat dijadikan dasar pertimbangan lahirnya kebijakan tentang tindak lanjut program. Prinsip evaluasi tersebut mengindikasikan bahwa evaluasi seyogianya dilakukan terhadap setiap program pembinaan kesiswaan, baik berkenaan dengan aspek persiapan, pelaksanaan, maupun hasil. Setiap aspek program perlu dievaluasi dengan mempergunakan instrumen yang terandalkan dan petugas evaluasi yang kompeten; sehingga hasil evaluasi dapat dipertanggungjawabkan dan berguna untuk pengambilan keputusan.

F. Pelaporan

Pelaporan setiap program pembinaan kesiswaan didasarkan atas data dan atau informasi yang dihasilkan dari kegiatan evaluasi. Agar keotentikan laporan diperoleh, maka laporan disusun secara komprehensif setelah selesai pelaksanaan suatu program. Pelaporan untuk setiap program pembinaan kesiswaan merupakan bagian dari tugas penanggung-jawab program yang bersangkutan. Format laporan disesuaikan dengan kebutuhan atau panduan masing-masing satuan program. Dengan demikian, pelaporan dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan suatu program. (ditulis oleh : Mamat Supriatna

Unpad Siapkan 40 Pelatihan bagi Dosen dan Tenaga Kependidikan

Unpad Siapkan 40 Pelatihan bagi Dosen dan Tenaga Kependidikan

05 Februari 2009

Laporan oleh: Inge Suratmining

[Unpad.ac.id, 5/02] Demi meningkatkan koordinasi kegiatan kerja sama dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) di lingkungan Universitas Padjadjaran (Unpad), Kantor Pembantu Rektor Bidang Kerjasama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Unpad menyelenggarakan forum yang diikuti oleh para delegasi dari masing-masing fakultas. Kegiatan ini diselenggarakan di Executive Lounge Lt. 2, Gedung Rektorat Baru, Jl. Dipati Ukur 35 Bandung, Kamis (5/02).

Delegasi fakultas berbicara dalam forum yang diselenggarakan PR Bidang Kerja Sama dan Pengembangan SDM (Foto: Tedi Yusup)

Delegasi fakultas berbicara dalam forum yang diselenggarakan PR Bidang Kerjasama dan Pengembangan SDM (Foto: Tedi Yusup)

Forum ini dipimpin oleh PR Bidang Kerjasama Prof. Dr. Tb. Zulrizka Iskandar, S.Psi., M.Sc., hadir pula Direktur Kerja Sama Unpad, Ramdan Panigoro, MD., M.Sc., Ph.D., dan Direktur Pengembangan Sumber Daya Manusia, Handarto SPT., M.Agr., Ph.D. “Dalam meningkatkan kerjasama, kami telah membuat rencana untuk tahun 2009/2010 dan diharapkan bisa tersampaikan ke semua fakultas. Untuk peningkatan SDM sendiri, Unpad sudah mengirimkan 50 orang dosen yang telah berhasil mendapatkan beasiswa dari Dikti tahun 2008 lalu,” ujar Ramdan.

Ramdan juga mengharapkan bahwa peserta yang hadir dalam forum tersebut dapat bertugas sebagai koordinator/liaison officer (LO) dari fakultasnya. Setiap LO diharapkan secara aktif dan berkesinambungan memfasilitasi kegiatan kerja sama dan pengembangan SDM berkoordinasi dengan kantor pusat.

Melalui kesempatan ini delegasi dari masing-masing fakultas memiliki kesempatan untuk bisa menyampaikan pemikirannya terkait bidang kerjasama yang akan, sedang, dan telah dilakukan. Seluruhnya sangat mendukung adanya forum komunikasi ini, karena melihat masih adanya kelemahan koordinasi urusan kerjasama, baik di tingkat fakultas sendiri maupun antara fakultas dengan universitas.

Core business pendidikan tinggi adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Hal tersebut semata-mata untuk menjadikan Unpad sebagai World Class University,” ujar Prof. Zulrizka seraya menjelaskan program pengembangan kerja sama dan SDM kepada peserta forum. Beliau juga menitikberatkan kepada pendidikan, join research, dan join publication untuk bisa mencapai kelas dunia.

Untuk pengembangan SDM, Handarto SPT., M.Agr., Ph.D., Mengatakan akan ada kurang lebih 40 pelatihan yang harus diselenggarakan, antara lain pelatihan budaya organisasi Unpad, bimbingan dan konseling, manajemen perguruan tinggi, dan lain-lain. “Saya memohon kepada Bapak dan Ibu sebagai wakil dari fakultas untuk bisa mempersiapkan peserta, karena kami di sini telah merancang beberapa pelatihan yang efektif,” tutur Handarto.

Pada kesempatan tersebut, Koordinator Humas Unpad, Weny Widyowati, S.Sos., M.Si juga memaparkan informasi terkait permohonan dari media massa yang seringkali membutuhkan referensi narasumber. Media massa sangat membutuhkan rekomendasi nama para pakar dari berbagai bidang ilmu yang ada di setiap fakultas. Ketersediaan nama narasumber keilmuan bagi para wartawan itu bisa menjadi salah satu ajang publikasi bagi Unpad.