Senin, 16 Maret 2009

Pembiayaan Pendidikan

Kompas. Kamis, 12 Desember 2002

Pembiayaan Pendidikan

Oleh Darmaningtyas

GUGATAN masyarakat terhadap pemerintah menyangkut tanggung jawabnya yang
rendah dalam pembiayaan pendidikan warga telah lama dilontarkan. Namun,
sampai sekarang belum ada perbaikan yang signifikan.

Kehendak yang baik baru muncul dalam konstitusi yang merupakan hasil
amandemen UUD 1945. Dalam Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen itu
disebutkan, Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.

Sayang, kehendak baik itu baru muncul sekarang saat kondisi keuangan negara
sedang carut-marut sehingga kita tidak bisa memaksa pemerintah mewujudkan
secepatnya, terlepas dari pemerintah masih korup, beban pemerintah
menanggung warisan utang rezim Orde Baru (Golkar) amat besar. Pada tahun
2002, misalnya, beban utang yang harus dibayar Rp 132,4 trilyun dengan
rincian utang luar negeri Rp 43,9 trilyun, utang dalam negeri Rp 88,4
trilyun (Kompas, 27/4/2002). Dengan kata lain, munculnya kehendak baik itu
tidak dibarengi kemampuan pemerintah untuk membiayainya.

Meski demikian, kita tidak boleh berhenti berteriak agar pemerintah tidak
terlena. Sebab, selain ada faktor obyektif (beban utang), juga ada faktor
subyektif yang membuat kita jengkel dan harus kritis terhadap pemerintah.
Faktor subyektif itu adalah tidak adanya kepekaan legislatif maupun
eksekutif atas penderitaan masyarakat dan ketidakadilan antarsesama warga
yang diciptakan penguasa. Terutama antara konglomerat pe ngemplang utang
dengan warga yang tidak punya akses perbankan sama sekali.


Tidak peka

Sikap pemerintah (legislatif dan eksekutif) yang kurang peka terhadap
penderitaan masyarakat atau tidak memiliki sense of crisis, terlihat jelas
dari perilaku mereka yang sama sekali tidak mencerminkan rasa empati
terhadap beban berat yang ditanggung warga. Gaya hidup sebagian besar aparat
pemerintah masih terlihat bermewah-mewah, berlumuran uang, dan hanya memburu
rente untuk diri sendiri maupun kelompoknya. Meskipun sebagian besar
masyarakat mengalami kesulitan untuk memperoleh sesuap nasi untuk hari ini,
tetapi jumlah mobil mewah di kota-kota besar terus bertambah dan di antara
pemilik mobil mewah itu adalah pejabat negara. Laporan KPKPN menunjukkan,
kekayaan para penyelenggara negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif)
meningkat tajam meski belum ada lima tahun berkuasa.

Rendahnya kemauan pemerintah untuk membiayai pendidikan juga terlihat
melalui kebijakan yang tidak adil, yaitu terlalu berpihak pada kepentingan
segelintir orang atau konglomerat. Di satu pihak pemerintah mengeluh tidak
memiliki anggaran cukup untuk pendidikan, tetapi di pihak lain pemerintah
bersedia nomboki bank-bank bangkrut mencapai ratusan trilyun rupiah. Dana
yang dialokasikan untuk melakukan restrukturisasi perbankan sejak awal
krisis (1997) sampai sekarang konon mencapai sekitar Rp 600 trilyun.

Tahun 2002 ini, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) menyetujui
penambahan biaya merger lima bank dari rencana Rp 3,9 trilyun menjadi Rp 4,6
trilyun (Kompas, 30/8/2002) atau 41,8 persen dari anggaran pendidikan yang
hanya Rp 11 trilyun. Ironis, untuk pendidikan pemerintah sulit memberi
tambahan, tetapi untuk nomboki bank-bank yang bangkrut mudah sekali.

Orang awam pun amat heran, mengapa pemerintah mati-matian nomboki bank-bank
bangkrut dan mengorbankan pendidikan puluhan juta anak? Salah satu
argumentasi yang sering dikemukakan adalah bila perbankan tidak
direstrukturisasi, masyarakat tidak akan percaya pada dunia perbankan.

Padahal, biarkan saja masyarakat tidak percaya pada perbankan kalau
perbankan kita nyatanya buruk kinerjanya. Buat apa masyarakat dipaksa
percaya dunia perbankan kalau mentalitas pengelolanya buruk? Lebih baik
sedikit bank tetapi sehat daripada 148 bank tetapi hanya membebani
masyarakat.

Pada masa krisis seperti sekarang, daripada pemerintah menghamburkan dana
untuk nomboki bank yang kenyataannya tidak menolong perekonomian negara,
lebih baik dana itu diinvestasikan untuk membiayai pendidikan dan kesehatan
warga. Memang investasi pendidikan tidak akan memberi hasil cepat, tetapi
paling tidak bangsa ini memiliki harapan bahwa 10-20 tahun ke depan generasi
yang akan tampil adalah generasi yang terdidik secara baik. Daripada dana
untuk nomboki bank-bank bangkrut, tetapi tidak memberi harapan apa-apa bagi
kita. Jika kita percaya adagium, bandit tetap bandit, maka meski mereka
sekarang ditomboki, ke depannya tetap akan mereka kemplang, masyarakat terus
dirugikan.

Jadi, secara obyektif memang ada persoalan kemampuan pemerintah yang
terbatas untuk membiayai pendidikan sebagai akibat warisan utang. Tetapi
secara subyektif juga ada ketidak-mauan pemerintah untuk sungguh-sungguh
memperhatikan pendidikan melalui alokasi anggaran pendidikan yang tinggi
atau kebijakan yang memungkinkan pendidikan menjalani reformasi secara
benar.


Masyarakat egois

Kemauan yang rendah untuk membiayai pendidikan juga ditunjukkan masyarakat,
terutama saat penerimaan murid baru. Ada dua fenomena mencolok. Pertama,
banyak orang kaya turut berebut masuk sekolah negeri dengan pertimbangan
biayanya lebih ringan dibanding bersekolah di swasta.

Kedua, bagi orang kaya yang mendaftar ke sekolah-sekolah swasta, mereka
selalu memperlihatkan perilaku yang sama. Saat negosiasi biaya pendidikan,
mereka ke sekolah dengan sesederhana mungkin, mengesankan sebagai orang
miskin. Dalam mengisi formulir, terutama menyangkut pekerjaan dan pendapatan
banyak yang dipalsu dengan harapan dapat keringanan biaya masuk dan uang
SPP. Namun, setelah diterima, mereka memperlihatkan sikap aslinya: pamer
kekayaan dengan berganti-ganti mobil, perhiasan, pakaian bermerek, dan
merayakan ulang tahun anaknya di hotel berbintang. Perilaku masyarakat yang
demikian, mencerminkan perilaku asosial, tidak memiliki kepekaan sosial bagi
sesama yang kurang beruntung, egois, hanya memikirkan diri sendiri.

Orang kaya yang memiliki kepekaan dan solidaritas sosial tinggi akan memberi
kesempatan mereka yang tidak mampu untuk antre lebih dulu masuk
sekolah-sekolah negeri yang biayanya ringan karena ditanggung pemerintah.
Dan mereka akan masuk ke sekolah-sekolah swasta yang biayanya ditanggung
sendiri. Dan mereka yang sejak awal memilih sekolah-sekolah swasta bermutu
pun tidak akan berpura-pura menjadi orang miskin untuk mendapat keringanan
biaya masuk maupun SPP. Sebaliknya mereka bersedia membayar biaya sekolah
sesuai kemampuannya. Sebab dengan membayar sesuai kemampuannya itu
sesungguhnya turut menolong bagi yang tidak mampu.

Apa yang dapat dilakukan bila menghadapi kemauan pemerintah dan masyarakat
yang rendah untuk membiayai pendidikan? Tidak lain terus bersuara agar baik
pemerintah maupun masyarakat yang kaya memiliki kemauan tinggi untuk
membiayai pendidikan dasar. Sembari mengingatkan kepada para penyelenggara
pendidikan, agar bila kelak pemerintah mengalokasikan dana yang tinggi untuk
pendidikan, tidak dikorup. Sebab meskipun anggaran pendidikan tinggi, tetapi
kalau korupsinya juga tinggi, tidak akan memberi makna apa-apa bagi
perbaikan mutu pendidikan di negeri ini.

Darmaningtyas Praktisi pendidikan, anggota Dewan Penasihat CBE (The Centre
for the Betterment of Education) di Jakarta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar