Senin, 16 Maret 2009

Menyikapi Pesona Sekolah Unggulan

Menyikapi Pesona Sekolah Unggulan
Jumat, 2 Mei 2008 | 21:12 WIB

Oleh: Moh Muhibbin

Fenomena sekolah unggulan mulai bertebaran di tengah masyarakat mulai ibu kota kabupaten/kota hingga kecamatan. Sekolah-sekolah ini bertarif mahal dan dikampanyekan pengelolanya akan menjanjikan serta menjamin masa depan anak didik.

Salah satu selebaran yang diedarkan sekolah unggulan ini berbunyi "bergabunglah dengan sekolah yang tidak jual mimpi", "masukkan anak anda ke sekolah ini, jika ingin menjadi profesional", atau "saatnya orangtua tidak meninggalkan kader lemah di masa depan". Membaca selebaran-selebaran semacam itu, di satu sisi dapat ditangkap isyarat bahwa pengelola pendidikan rupanya semakin rajin meramu model sekolah yang dikalkulasi akan mampu merangsang dan menyedot konsumen sebanyak-banyaknya, khususnya konsumen pendidikan yang berasal dari kalangan orangtua atau keluarga berduit.

Berapa pun banyaknya uang yang dikeluarkan tidak akan menjadi perhitungan utama karena yang diutamakan adalah kepuasan. Pernyataan tersebut menunjukkan sekolah berlabel unggulan yang dijual sebagian pengelola pendidikan sebenarnya masih layak dipertanyakan kesejatian keunggulannya. Bukan tidak mungkin, apa yang distigmakan dalam kosakata "unggulan" terbatas pada strategi pemenuhan kebutuhan pasar elite yang menuntut pemuasan dari ambisi status sosialnya.

Tampaknya gejala sekolah unggulan yang dijual ke pasar orangtua atau keluarga berduit cenderung mengikuti dan mendikte konsumen yang berburu status sosial. Sekolah dibangun bukan mengikuti dasar-dasar moral-filosofi yang dibutuhkan anak didik untuk membentuk kepribadian sehingga menjadi pribadi unggul, namun lebih dominan mengikuti irama kepentingan pembenaran ambisi orangtuanya.

Ada kisah, misalnya, salah satu sekolah di Jatim yang telah mengemas dirinya menjadi sekolah unggulan dengan tema jual ke pasar sebagai sekolah unggulan. Dalam penawaran kepada orangtua murid, sistem pembelajaran di sekolah model ini dilaksanakan dengan sistem anak didik diwajibkan mengikuti rule of game yang digariskan sekolah hingga sore (pukul 17.00). Sayangnya, dalam beberapa hari, sekolah ini tidak menjalankan aturan main yang sudah dijual ke pasar.

Akibat wanprestasi ini, para orangtua murid memprotesnya. Alasannya, ini merugikan anak-anak dan mereka. Pasalnya, mereka menyekolahkan anak di sekolah model ini dengan pertimbangan adaptasi jam kerjanya sama dengan berakhirnya jam sekolah anak. Karena anak sering dipulangkan lebih awal, pihak sekolah telah merugikan jam kerjanya. Ini berarti, secara ekonomi, sekolah telah menghadirkan masalah dan bukan menyelesaikan masalah. Kasus tersebut menunjukkan ukuran unggulan yang dipakai sekolah maupun orangtua sebenarnya sudah tidak sama.

Dari pihak keluarga atau orangtua murid, sekolah unggulan diasumsikan sebagai lembaga pendidikan yang mampu menyelaraskan kepentingan anak didik dan kesibukan mereka.

Dalam kasus tersebut, di satu sisi model sekolah demikian barangkali akan menjadi obyek jual ke pasar yang mampu menyedot konsumen. Namun di sisi lain, pengelola pendidikan dan konsumen perlu diluruskan bahwa kesejatian pendidikan bukan pragmatisme, instanisme, otoritarianisme, atau menciptakan atmosfer edukatif yang "memenjara" anak, melainkan atmosfer yang menumbuhkan pencerdasan dan penceraham moral intelektual kepada anak didik.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran. Ini agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, serta negara.

Dalam dimensi yuridis tersebut ada kosakata "mengembangkan" potensi yang menggabungkan kognisi, afeksi, dan psikomotorik sehingga target pencapaian dalam setiap proses pembelajaran menekankan pada akumulasi nilai. Jika akumulasi nilai yang menjadi tolok ukur, standar keunggulan terletak pada kemampuan setiap penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan untuk mengantarkan anak didik menjadi manusia unggulan.

Makhluk dwidimensi

Ahli tafsir kenamaan, M Quraish Shihab (1992), juga menunjukkan substansi model pendidikan yang menekankan keunggulan manusia. Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan imaterial (akal serta jiwa). Pembinaan akal menghasilkan ilmu, pembinaan jiwa menghasilkan kesucian dan etika, serta pembinaan jasmani menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan dunia dan akhirat serta ilmu dan iman. Itulah sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah adab al-din dan adab al-dunya.

Dengan orientasi pendidikan itu, seharusnya atau idealnya model sekolah atau pendidikan unggulan bukan semata terletak pada keunggulan fasilitas, tetapi juga sistem demokratisasi edukasinya, yang dalam politik implementasinya mampu menumbuhkembangkan pribadi anak didik menjadi manusia istimewa secara kognisi, afeksi, dan psikomotorik.

Sekolah unggulan tidak terletak pada pesona kemampuan manajemen sekolah dalam mendulang keuntungan ekonomi berlaksa dari orangtua atau kelompok sosial elitisme, tetapi dari kemampuan menjembatani anak didik menjadi pribadi paripurna meski anak didik ini dari golongan akar rumput.

Ini artinya prinsip penyelenggaraan pendidikan (proses belajar- mengajar) yang bernapaskan egalitarian tidak bisa diabaikan, kecuali pengelolanya dari awal sudah menerapkan sistem pembenaran keunggulan dalam disparitas dan diskriminasi yang bertumpu pada kapitalisme pendidikan. "Apa yang distigmakan dalam kosakata "unggulan" terbatas pada strategi pemenuhan kebutuhan pasar elite yang menuntut pemuasan dari ambisi status sosialnya".

Moh Muhibbin Peneliti pada Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Budaya, Ekonomi, dan Politik (LP2BEP) Gresik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar