Senin, 16 Maret 2009

Diknas Benahi Sistem Pembiayaan Pendidikan

JAKARTA - Mendiknas Bambang Sudibyo mengemukakan, dalam jangka pendek pihaknya akan memprioritaskan pembenahan sistem pembiayaan dan peningkatan mutu pendidikan. ''Terkait dengan program 100 hari di bidang pendidikan, dalam jangka pendek kami akan memberikan prioritas pada pembenahan sistem pembiayaan pendidikan 20% dari anggaran belanja pusat dan daerah,'' ungkapnya kepada pers seusai halalbihalal di lingkungan Depdiknas, Selasa kemarin.

Dia mengatakan, pembiayaan pendidikan 20% memang seharusnya dipenuhi dari anggaran belanja dan bukan dari anggaran pendapatan. Selanjutnya, yang perlu dilakukan adalah menjabarkan anggaran pendidikan 20% tersebut sesuai dengan jalurnya.

Menurut pandangannya, sistem pembiayaan pendidikan harus ditata penggunaannya karena selain dana dari APBN/APBD, dana pendidikan bisa juga dipungut dari masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan. ''Dana yang bersumber dari APBN dan masyarakat, semua harus ada aturan bagaimana memungutnya, bagaimana menggunakan, kemudian bagaimana mempertangungjawabkannya.''

Dia menuturkan, pengaturan tentang pengelolaan pembiayaan pendidikan agar memiliki dasar hukum yang kuat perlu diatur setingkat peraturan pemerintah (PP) namun sebelum menjadi PP harus menjadi keputusan presiden dulu. ''Kalau ternyata bagus, stabil, dan bisa melayani masyarakat dengan baik, pengaturan sistem pembiayaan pendidikan bisa menjadi UU,'' ujarnya.

Mutu Pendidikan

Bambang mengungkapkan, mutu pendidikan bisa diukur dengan bermacam variabel, seperti kurikulum, silabus, metode pengajaran, dan standar kompetensi. ''Semua harus dikerjakan satu per satu dan tidak boleh tergesa-gesa. Kalau bisa kita temukan modelnya, bisa diperkuat status hukumnya dalam sebuah peraturan pemerintah,'' tuturnya.

Dia menyebutkan, antara pembiayaan dan mutu pendidikan saling terkait. ''Pembiayaan itu mesti didasarkan pada tingkat mutu tertentu, misalnya di Malaysia, biaya pokok untuk pendidikan tinggi Rp 18 juta per mahasiswa. Hal itu mengasumsikan tingkat mutu pendidikan di Malaysia seperti itu.''

Bila ingin kualitas pendidikan tinggi di Indonesia sama seperti di Malaysia, maka perlu dihitung berapa yang bersumber dari APBN, APBD, dan dana masyarakat serta memasukkan metode subsidi silang.

Mengenai akses pendidikan bagi masyarakat tidak mampu, Bambang menekankan, pembiayaan pendidikan oleh masyarakat bersifat sosial. ''Jangan sampai yang miskin dan pintar itu tidak bisa menikmati pendidikan terutama untuk program wajib belajar (wajar) karena mereka banyak yang tidak mampu,'' harapnya.

Pemerintah akan berupaya supaya daerah terbelakang mempunyai akses yang sama baik dengan daerah maju. ''Pemerintah akan mencari cara bagi peserta didik yang berasal dari Papua, punya akses ke sekolah yang baik di Pulau Jawa misalnya,'' katanya.

Pemerintah, sambungnya, berupaya agar sekolah favorit tidak hanya diisi oleh orang mampu di kota-kota saja. ''Kami cari sistemnya. Kami akan dorong setiap kabupaten mempunyai sekolah unggulan yang memang menjadi jagoannya.''

Dia mengakui, memang sulit membuat standar yang sama antara satu daerah dan daerah lain di Indonesia. ''Tidak mungkin semua bisa disamakan. Akan tetapi yang penting, bagaimana kita mengangkat standar mutu pendidikan dengan konsentrasi utama pada APBN/APBD,'' tandasnya.(ant-78j)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar